iklan Jembatan Suramadu yang menjadi penghubung Surabaya dan Madura kini tak lagi masuk kategori jalan tol. (Galih Cokro/Jawa Pos)
Jembatan Suramadu yang menjadi penghubung Surabaya dan Madura kini tak lagi masuk kategori jalan tol. (Galih Cokro/Jawa Pos)

JAMBIUPDATE.CO, - Sudah selayaknya tarif Jembatan Suramadu dibikin nol rupiah alias gratis. Sebab, jauh sebelum jembatan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2009, telah disahkan UU Nomor 38/2004 tentang Jalan di mana pasal 44 ayat (1) menegaskan bahwa tol adalah jalan alternatif.

Dan, sebagaimana diketahui, Jembatan Suramadu bukanlah jalan alternatif. Melainkan jembatan satu-satunya penghubung transportasi orang, barang, dan jasa yang di awal perencanaannya diimpikan dapat mengubah secara signifikan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Madura.

Tetapi, hingga hari ini, setelah sembilan tahun diresmikan, jembatan tersebut belum secara maksimal berkontribusi pada peningkatan ekonomi masyarakat. Lalu, apakah dengan tarif nol rupiah ekonomi Madura segera bangkit?Basic Needs dan Komitmen Pemda

Hasil pengkajian yang dilakukan LPPM Universitas Trunojoyo Madura menunjukkan bahwa percepatan pembangunan Madura membutuhkan komitmen empat pemda di Madura antara lain untuk sebagai berikut.

Pertama, kemudahan investasi. Empat pemda harus duduk bersama untuk merumuskan perda tentang kemudahan-kemudahan dan jaminan keamanan bagi para investor. Tidak boleh ada egoisme di antara pemda. Contohnya, sektor pariwisata akan tumbuh jika imajinasi tentang pengembangan pariwisata Madura dibangun bersama-sama. Tidak perlu berlomba untuk membuat momentum sendiri-sendiri, contoh Visit Pamekasan, tetapi kembangkan Visit Madura. Sebab, sejak dahulu yang disebut itu Maduranya, bukan asal usul administrasi kependudukannya.

Kedua, pemda harus lebih berfokus mengembangkan ekonomi masyarakat dengan mengenali secara baik potensi-potensi sumber daya di setiap wilayah. Sebagai contoh, pasca pelantikan, Bupati Bangkalan Ra Abdul Latif menegaskan akan berfokus memanfaatkan sekitar 60.000 hektare lebih lahan tidur untuk ditanami jagung dan mengembangkan industri turunannya.

Ketiga, pemenuhan kebutuhan dasar. Pemda harus mampu bersinergi dengan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebagai contoh: ketersediaan air bersih dan bagaimana menanggulangi kekeringan yang setiap tahun melanda berbagai wilayah di Madura.

Persoalan pemerataan serta kemudahan pelayanan kesehatan, persoalan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta infrastruktur publik lainnya untuk memudahkan tercapainya berbagai macam program pembangunan SDM dan SDA di Madura.

Keempat, pemerintah harus mampu memaksimalkan luasnya area yang tersedia dan dapat digunakan untuk membangun kawasan sentral industri.

Menakar Peran BPWS

Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut, keberadaan Badan Pengelola Wilayah Suramadu (BPWS) semestinya dapat menjadi "alternatif" selain Pemprov Jawa Timur. Sayang, hingga hari ini belum banyak hal spektakuler yang dihasilkan badan yang sejak kelahirannya telah penuh kontroversi, pro dan kontra, itu.

Maka, pasca digratiskannya Jembatan Suramadu, BPWS harus mampu bergerak lebih gesit dan luwes untuk mengoordinasikan kebutuhan vital empat wilayah pemerintahan dan industrialisasi di Madura. Jangan sampai terlambat. Sebab, dengan segala keterbatasan yang ada saat ini, bisa jadi yang lebih diuntungkan justru Surabaya. Dengan kelengkapan fasilitas, justru masyarakat Madura yang akan semakin rajin berkunjung ke Surabaya dan sekitarnya. Bisa jadi, inilah awal kebangkrutan ekonomi Madura.

Dengan berbagai keterbatasan yang ada, masyarakat tetap berbahagia serta berterima kasih mendapat kado gratis Jembatan Suramadu. Percayalah, masyarakat Madura yang terkenal sebagai pekerja keras dan tak kenal putus asa dalam bekerja -seperti tersimbolisasi dalam semboyan "Abhantal ombek, asapo" angen"- tetap memandang optimistis berbagai keadaan.

Di atas itu semua, masyarakat Madura juga terkenal sangat menjaga harga diri dan kehormatan. Karena itu, mereka bersedia bekerja apa saja asal dapat dipastikan kehalalannya. Istilahnya "Bangu an pote tulang etambeng pote mata" yang berarti lebih baik putih tulang daripada putih mata (menanggung malu). (*)


Sumber: JawaPos.com

Berita Terkait



add images