Yang dengan Rusia sebenarnya lebih parah. Perbatasan dua negara itu juga jauh lebih panjang.
Saya pernah ke museum di perbatasan Tiongkok-Rusia itu. Di kota kecil Heihe. Dua kali saya ke sana. Yang dari kota itu bisa memotret kota Rusia di dekatnya. Hanya dipisahkan sungai selebar Bengawan Solo.
Kunjungan kedua saya bersama Robert Lai yang Singaporean dan John Mohn yang American.
Di museum itu diceritakan soal penyelesaian perbatasan Tiongkok-Rusia. Yang sangat dramatik. Termasuk ketika Tiongkok harus kehilangan wilayah yang luas di dekat Heihe.
Maka saya tidak yakin akan ada perang besar di perbatasan Tiongkok-India. Kecuali batu-batu di situ sudah habis. Bayangkan betapa lamanya menghabiskan batu di kaki pegunungan Himalaya itu.
Yang mungkin meledak adalah perbatasan di laut. Tidak dengan satu negara. Tapi dengan tiga negara: Vietnam, Malaysia dan Filipina. Di Laut Tiongkok Selatan.
Baik di India maupun di laut itu ada unsur Amerika Serikat yang kuat di dalamnya.
Saya pun menyadari sepenuhnya keterbatasan DI's Way. Yang hanya punya satu wartawan --itu pun tanpa dibayar pula.
Tapi saya juga membaca keinginan yang kuat dari publik: perlunya liputan DI's Way yang lebih luas.
Sementara ini, itu tidak mungkin.
Maka sebaiknya pandanglah DI's Way hanya sebagai salah satu sudut pandang. Jangan juga mudah ikut sudut pandang DI's Way.
Yang terbaik adalah: masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri. Media sebaiknya hanya menyajikan pilihan-pilihan dari begitu banyak sudut pandang.
Yang cebong tetaplah jadi anak kodok. Sampai airnya kering. Yang kampret tetaplah jadi anak codot sampai tidak ada lagi pohon.
Toh kita tidak punya batu sebanyak di kaki Himalaya.(Dahlan Iskan)
Sumber: www.disway.id