Oleh : Dahlan Iskan
SEKALI gebrak Kejaksaan Agung sudah mengalahkan siapa saja –dalam menuntut hukuman seumur hidup terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang.
KPK misalnya, selama ini menuntut hukuman seumur hidup untuk satu orang: Akil Mochtar, ketua Mahkamah Konstitusi yang menggantikan Mahfud MD.
Waktu itu, 2013, hakim di pengadilan negeri Jakarta, benar-benar menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa KPK. Itu dalam kasus suap untuk Akil yang mencapai Rp 57 miliar.
Sekarang ini, Kejaksaan Agung, sekali hentak langsung menuntut enam orang dengan hukuman seumur hidup. Tuntutan itu begitu mengena sehingga hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa.
Mereka adalah –Anda sudah tahu–Mantan Direktur Utama PT Jiwasraya Hendrisman Rahim, Mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, Mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto. Lalu Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat. Terakhir Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro.
Di antara enam orang itu ada yang statusnya “turut melakukan”. Yakni Benny Tjokroseputro (Bentjok). Berarti bukan pelaku utama. Tapi tuntutan jaksa sama dengan pelaku utamanya: seumur hidup.
Padahal biasanya hukuman bagi “turut melakukan” lebih ringan dari “yang melakukan”.
Maka lembaga seperti MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) menyatakan sangat puas dengan muara kasus Jiwasraya yang ditangani Kejaksaan Agung ini.
MAKI, menurut koordinatornya, Boyamin Saiman, adalah yang melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung.
Kelihatannya pasal yang paling telak menghunjam Bentjok adalah yang terkait dengan pencucian uang.
Dari sini jaksa bisa menemukan inti untuk tuduhan dan tuntutannya. Yakni tentang motif di balik sebuah perbuatan. Tentang niat jahat ketika melakukan tindak pidana itu.
Semula sempat saya perkirakan Bentjok akan bisa terhindar dari hukuman –setidaknya hukuman berat– karena bisa berlindung sepenuhnya di balik UU Pasar Modal atau UU Perseroan Terbatas berikut peraturan turunannya.
Rupanya Kejaksaan Agung berhasil menemukan aliran dana hasil “ikut sertanya” itu ke mana saja. Maka MAKI sebaiknya tidak hanya memuji Kejaksaan Agung secara kelembagaan tapi juga memuji tim jaksa yang berhasil menemukan “‘roh kejahatan” itu.
Saya membayangkan tim jaksa yang menangani perkara ini pontang-panting luar biasa. Mereka harus menemukan ‘roh kejahatan’ itu. Apalagi tenggat waktunya begitu cepat.
Tanpa itu, jaksa hanya akan menemukan pepesan kosong. Ternyata tim jaksa bisa membuat pepesan yang ”sangat lezat” untuk menjadi menu dalam berkas tuntutan. Dengan demikian majelis hakim bisa dengan lekoh menjatuhkan hukumannya.
Tentu saya tidak bisa mengikuti dengan baik jalannya persidangan ini. Saya hanya mengikuti dari media. Demikian juga saya tidak bisa akses untuk membaca keseluruhan pledoi pengacara Bentjok. Saya hanya membaca secara penuh pledoi Bentjok yang ia buat sendiri dan ia bacakan sendiri itu. Yang secara penuh tersiar di medsos itu.
Maka timbul pertanyaan: mengapa Bentjok sama sekali tidak menyinggung soal motif tersebut dalam pembelaannya. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa jaksa sudah menemukan motif perbuatan itu. Mengapa dalam pledoi itu Bentjok tidak menguraikan pembelaannya dalam hal pencucian uang itu? Yang dari situ terlihat jelas motif perbuatannya?
Lihatlah betapa telak hakim menguraikan ke mana saja uang hasil transaksinya dengan Jiwasraya itu.
Mengikuti serunya aliran dana tersebut saya langsung membayangkan betapa sulitnya tim jaksa dalam menelusuri aliran dana itu.
Misalnya: “Bentjok telah menerima uang dari penjualan Medium Term Note (MTN) PT Armidan Karyatama dan PT Hanson International sebesar Rp 880 miliar, kemudian disamarkan dengan membeli tanah di Maja, Banten, atas nama orang lain”.
Atau ini: “transaksi pembelian PT Hanson International Tbk (MYRX), PT. Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK), dan pembelian Medium Term Notes (MTN) PT Armidian Karyatama dan PT Hanson International senilai Rp 1,75 triliun yang disembunyikan di rekening Bank Windu”.
Juga yang ini: “Bentjok juga melakukan TPPU lain berupa transfer uang hasil penjualan saham sejumlah Rp 75 miliar ke rekening Bank Mayapada atas nama Budi Untung”.
Selanjutnya: “pembelian bidang tanah di Kuningan, Jakarta Selatan atas nama PT Duta Regency Karunia. Kemudian pada tahun 2015 terdakwa membuat kesepakatan dengan Tan Kian selaku pemilik PT Metropolitan Kuningan Properti untuk pembangunan apartemen dengan nama South Hill di mana terdakwa menyediakan lahan dan Tan Kian membiayai pembangunannya. ”
Hakim juga menguraikan di vonisnya motif itu. Misalnya dalam bagian ini: pada saat proses pembangunan tersebut dilakukan penjualan secara pre-sale di mana hasil penjualan tersebut Benny telah menerima pembayaran sebesar Rp 400 miliar dan Tan Kian menerima Rp 1 triliun.
“Di samping itu juga terdapat pembagian hasil penjualan apartemen yang belum terjual disepakati Terdakwa akan mendapatkan bagian 70 persen dan Tan Kian memperoleh bagian sebesar 30 persen.”
“Terdakwa juga menerima bagian berupa 95 unit apartemen dan oleh terdakwa dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaannya yang diperoleh dari tindak pidana korupsi mengatasnamakan unit properti.”
Demikian juga 95 unit apartemen itu dimilikinya atas nama Dicky Tjokrosaputo dan istrinya sebanyak 41 unit, PT Kalingga sebanyak 45 unit, Caroline sebanyak 2 Unit, Ibu Terdakwa sebanyak 2 unit, Tedy Tjokrosaputro sebanyak 2 unit.
“Berikutnya, Benny juga membeli sebanyak 4 unit apartemen di Singapura seharga SGD 5.693.300, 1 unit di di St. Regis Residence dan 3 unit di One Shenton Way”.
Tidak hanya MAKI. Masyarakat luas juga merasa puas dengan jatuhnya enam hukuman seumur hidup dari satu kasus Jiwasraya. (*)