Oleh: Dahlan Iskan
DENGAN bentuk Lembaga maka LPI tidak mengenal istilah saham. Dengan demikian Lembaga Pengelola Investasi itu sepenuhnya bisa dimiliki pemerintah Indonesia. Tanpa terganggu soal setoran modal.
Sempat ada yang khawatir peran pemerintah menjadi minoritas di SWF itu. Kekhawatiran itu bermula dari begitu banyaknya uang luar negeri yang masuk ke LPI. Sedang ”setoran” modal pemerintah di lembaga itu ”hanya” Rp 15 triliun.
Setiap pulang dari luar negeri, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan memang selalu mengagumkan: berhasil membawa pulang sekian puluh triliun. Yang akan ditanamkan di Sovereign Wealth Fund (SWF) model Indonesia itu.
Misalnya, setelah Menko Luhut bertemu Presiden Donald Trump. Ia mengatakan berhasil membawa pulang janji Rp 28 triliun. Segitu pula yang dibawa pulang dari Jepang. Sekitar angka itu pula yang datang dari Kanada. Dan Uni Emirat Arab. Dan Arab Saudi. Dan, katanya, masih banyak lagi.
Kalau semua janji dari luar negeri itu saya total, jumlahnya mencapai lebih Rp 100 triliun. Belum lagi ditambah janji yang belum diucapkan. Dari lebih banyak lagi negara yang belum disebutkan.
Bandingkan dengan setoran pemerintah yang Rp 15 triliun.
Memang Indonesia akan setor sampai Rp 75 triliun. Begitu keterangan dari pemerintah. Itu akan dilakukan secara bertahap.
Tapi dengan bentuk yang bukan BUMN, bukan PT, bukan CV, dan bukan Perum, urgensi setor sampai Rp 75 triliun pun mestinya tidak ada lagi.
Kan tidak perlu ada pertimbangan antara modal disetor dan ”pinjaman” yang masuk. Kecuali Indonesia memang lagi kelebihan uang.
Yang mengagumkan adalah banyaknya janji itu. Dan besarannya. Dan yang mengucapkannya.
Bahkan Menko Luhut menyebut status janji itu sudah pada level komitmen. Berarti bisa lebih dipegang dari level janji –apalagi setelah kini makna janji terdegradasi.
Maafkan ketika menulis ”pinjaman” di atas kata itu saya beri tanda kutip. Saya sendiri belum yakin apakah semua komitmen tersebut berbentuk utang. Yakni utang kepada LPI. Bukan kepada pemerintah Indonesia.
Dengan demikian, karena statusnya utang LPI maka tidak ada yang bisa terus menjumlahkan sudah berapa ribu triliun utang negara kita.
Tentu masih akan ada yang menjumlahkannya.
Kan LPI 100 persen milik pemerintah. Pun jikalau tidak ada penjaminan pemerintah. Berarti utang LPI itu juga utang kita. Apalagi kalau ada penjaminan.
Rasanya kalau uang itu berstatus pinjaman pemilik uang pasti minta penjaminan seperti itu.
Tapi, rasanya, komitmen tersebut bukan berstatus utang.
Bagaimana kalau bentuknya investasi? Apalagi sebutan lainnya kalau tidak bisa disebut pinjaman?
Mungkin investasi juga bukan. Saya jadi ingat teman-teman yang berbisnis membangun ruko. Jangan-jangan statusnya seperti itu.
Maka anggap saja mirip seorang pengusaha yang lagi membangun ruko. Teman-teman pengusaha itu titip uang di proyek ruko tersebut. Tanpa diminta. Itu sepenuhnya inisiatif pemilik uang sendiri.
Pemilik proyek pada dasarnya mampu membiayai ruko itu. Tapi pemilik uang minta agar diperbolehkan ikut titip uang. Kalau rugi ya sudah. Tapi kalau untung minta bagian laba.
Di situ pemilik uang tidak minta bunga. Tidak pula banyak bertanya soal keamanan uangnya. Pegangannya hanya satu: kepercayaan. Yakni percaya bahwa yang dititipi uang itu jujur. Juga percaya proyek ruko itu bakal laris.
Maka status uang seperti itu adalah titipan. Bukan setoran modal. Bukan pula pinjaman. Saya belum tahu bagaimana akuntansi mencatatnya. Dicatat sebagai apa. Bahkan mungkin tanpa catatan sama sekali. Dasarnya hanya ingatan.
Kepercayaan plus ingatan.
Dua-duanya tidak perlu prosedur administrasi yang formal.
Tapi uang asing sebanyak lebih dari Rp 100 triliun itu tidak mungkin tanpa prosedur. Tidak mungkin pula hanya berdasar kepercayaan –dan ingatan. Memangnya kepercayaan pada pemerintah Indonesia sudah begitu tingginya.
Berarti komitmen lebih Rp 100 triliun tadi bukan juga uang titipan.
Titipan, bukan.
Investasi, bukan.
Pinjaman, bukan.
Lalu apa?
Saya masih ingat pengusaha ruko lainnya. Ia ingin bangun ruko. Tapi uangnya tidak cukup. Sedang mau utang juga takut. Mau cari uang titipan juga belum tentu sudah dipercaya 100 persen.
Ia pun menemukan jalan. Ia mengajak teman-temannya untuk setor uang. Dengan janji: proyek ruko itu pasti menghasilkan laba besar. Laba itu akan dibagi.
Tentu tawaran itu belum tentu menarik. Bisa saja pemilik proyek ruko itu kurang dipercaya. Baik akibat kelakuannya maupun prospek masa depan rukonya.
Pemilik uang bisa saja masih mau memberikan komitmen. Tapi harus ada syarat tambahan. Misalnya, uang tersebut harus berbunga. Itu saja belum cukup. Kalau ruko itu mendapat laba harus dapat bagian juga.
Status uang seperti itu disebut apa? Ilmu akuntansi tidak mengenalnya. Tapi pengusaha sudah biasa mempraktikkannya. Pengusaha memang jauh lebih lincah dalam menyikapi aturan akuntansi.
Akuntansi adalah pagar.
Pengusaha adalah kuda.
Apakah status dana lebih Rp 100 triliun tadi juga mirip permainan antara pagar dan kuda?
Lalu di antara pagar dan kuda itu, DPR sebagai apa?
Di zaman ini, itu semua kelihatannya tidak lagi penting. DPR begitu baik hati sekarang ini.
Jangan khawatir. ”Otak” pengusaha pasti bisa menemukan status uang itu nanti sebagai apa. Bagi otak pengusaha status itu tidak penting. Yang penting adalah uangnya.(Bersambung)