Oleh : Dahlan Iskan
DI TAHUN Baru 2021, apa yang bisa kita lakukan?
Tahun memang sudah berganti, tapi persoalan masih sama: menyelamatkan diri dari pandemi.
Itu yang terpenting.
Jumlah yang menderita Covid-19 memang masih terus naik. Pun di Indonesia. Tapi kepanikan kita sudah menurun drastis.
Kini pertambahan penderita kita sudah mencapai 8.000 lebih/hari. Terus saja rekor baru kita pecahkan. Tapi perasaan kita kian siap menghadapinya.
Saya juga sudah terbiasa jam 9 malam mulai mengantuk. Langsung tidur. Aneh sekali. Padahal, dulu, jam 9 malam itu baru mulai seru-serunya bekerja.
Kebiasaan baru itu membuat jam 03.00 saya sudah bangun. Antara lain karena sering ada sepak bola Inggris pada jam seperti itu.
Maka sudah 9 bulan lamanya jadwal saya berubah seperti itu. Termasuk jadwal minum obat.
Pada jam 03.00 itulah kini saya minum obat. Yakni penurun imunitas. Anda minum obat untuk menaikkan imunitas. Saya sebaliknya.
Sebelum minum obat itu saya minum air hangat dulu. Hampir 1 liter. Sudah menjadi kebiasaan. Tiap hari. Hanya dulunya itu saya lakukan jam 05.00 pagi.
Saya wajib minum obat penurun imun itu satu kali sehari. Seumur hidup. Agar imun saya tidak terlalu tinggi. Agar transplant saya tidak gagal. Yakni agar hati milik orang lain yang menggantikan hati saya yang rusak dulu itu tetap berfungsi.
Syarat minum obat itu: tidak makan apa pun dua jam sebelumnya dan satu jam sesudahnya. Maka minum obat itu pada jam 03.00 amat tepat. Kan baru bangun tidur. Berarti sudah lebih lima jam sebelumnya tidak makan.
Syarat lain obat itu: tidak boleh makan apa pun satu jam sesudahnya. Gak masalah. Masih terlalu pagi juga untuk makan.
Itu berarti jam 04.00 saya sudah boleh makan.
Makanan pertama saya adalah: pisang. Dua biji. Pisang masak biasa. Bukan rebus, bukan goreng.
Sebenarnya saya tidak suka pisang. Tapi sejak Covid-19 saya paksakan makan pisang. Setiap hari. Dari kebun sendiri. Tidak pernah putus.
Di Eropa ada pepatah “Satu apel sehari, dokter pergi”. Kita harusnya punya pepatah mirip itu: satu pisang sehari, dokter lari.
Saya menemukan cara panen pisang yang baru: yang dianggap aneh. Terutama oleh istri saya. Kalau ada pisang yang sudah tua, saya minta dipanenkan satu sisir saja.
Dulu, cara panen pisang itu mudah: bacok barangnya. Tandan pisang itu akan merunduk. Lalu tandan pisangnya diambil.
Sekarang, harus pakai tangga. Untuk “menyunat” pisang itu satu sisir. Dibawa pulang. Lima hari kemudian disunat lagi satu sisir. Tiap lima hari sunatan satu sisir. Satu pohon pisang bisa dipanen lima kali.
Kalau dipanen sekali, satu tandan itu akan masak bersamaan. Tidak bisa menghabiskan.
Dengan cara panen sunat seperti itu, saya bisa mendapat pisang setiap hari. Jarang sekali terpaksa membeli dari pasar.
Setengah jam kemudian, pukul 04.30, saya makan telur rebus lunak. Dua butir. Istri saya juga. Dua butir juga.
Pukul 05.00, saya minum jus jambu biji merah. Satu gelas besar. Juga setiap hari. Kadang dari kebun sendiri. Lebih sering istri saya membeli dari pasar.
Setelah itu, saya siap-siap berangkat olahraga: 05.45. Sebelum berangkat, saya minum madu dua sendok. Dicampur air hangat segelas kecil. Itu juga setiap hari.
Selama 9 bulan ini, saya hitung, sudah tiga liter madu saya habiskan. Berdua dengan istri. Saya selalu mendapat kiriman madu dari Pulau Moyo di Sumbawa. Kebetulan, tidak jauh dari situ, ada teman usaha saya di sana.
Olahraga saya juga sama: senam dansa. Orang-orang menyebutnya senam Dahlan Iskan Style. Di halaman depan Graha Pena. Di bawah matahari pagi.
Minggu lalu, senam kami berulang tahun yang keempat. Dirayakan dengan dansa nonstop selama 1,5 jam. Dua tahun lalu kami merayakannya dengan 3 jam nonstop.
Selama pandemi ini peserta senamnya terus bertambah. Yang terdaftar sudah 170 orang. Yang aktif setiap hari sekitar 100 orang. Ramai sekali. Dengan jarak yang cukup protokol.
Tidak ada sela-sela guyon atau ngobrol. Satu lagu habis, langsung masuk lagu berikutnya. Lagunya sudah disusun, ganti hari ganti susunan: 25 lagu setiap hari. Ada dangdut, rock ‘n’ roll, rock, pop, Mandarin, India, lagu rakyat Ambon, dan Papua.
Satu jam penuh badan terus bergoyang. Tidak bosan. Cenderung ketagihan. Kalau Sabtu dan Minggu 1,15 jam. Hanya Senin kami libur. Olahraga sendiri di rumah.
Itulah jenis senam yang saya bawa pulang ke Surabaya dari Monas, Jakarta. Saya jadi peserta biasa ketika di Monas. Saya naik pangkat jadi pelatih ketika di Surabaya.
Dulu.
Kini pelatih tua itu sudah melahirkan banyak pelatih muda. Cantik-cantik. Lebih semangat lagi. Saya tinggal jadi pelatih cadangan.
Jam 08.00 saya dan istri tiba kembali di rumah. Saya mulai bekerja. Istri –yang sudah mulai masak sejak jam 04.00– menyiapkan sarapan.
Begitulah setiap hari. Jadi rutinitas baru. Tahun 2020 memang sudah lewat. Tapi di tahun baru ini masih tetap begitu.(*)