Oleh: Dahlan Iskan
JACK MA ditahan? “Saya rasa tidak,” ujar teman saya di Tiongkok tadi malam. Tapi ia tidak tahu di mana Jack Ma. Seperti hilang ditelan bumi.
Memang Jack Ma, pemilik kekaisaran bisnis Alibaba itu, tidak pernah muncul lagi di publik. Sejak Oktober lalu. Tidak ada yang tahu di mana ia. Juga karena apa.
Saking misteriusnya keberadaan Jack Ma itu, sampai-sampai beredar rumor ia lagi ditahan. Untuk menyelesaikan persoalan perusahaannya –yang dianggap bermasalah oleh pemerintah.
Mungkin saja Jack Ma memang tidak ditahan. Mungkin saja ia lagi menahan diri. Istilahnya: lagi tiarap. Agar tidak lebih heboh. Yang hanya akan semakin menyulitkan dirinya.
Banyak sekali pengusaha yang memilih sikap ”tiarap” seperti itu di Tiongkok. Juga di Indonesia. Sambil mencari penyelesaian terbaik bagi mereka.
Misalnya Fan Bingbing. Artis paling terkenal cantiknya dan kaya-rayanya. Fan Bingbing tiba-tiba hilang dari peredaran. Sampai enam bulan.
Ternyata Fan Bingbing memang ”ditahan”. Dia dianggap menggelapkan pajak. Yang besarnya sampai sekitar Rp 2,5 triliun.
Caranyi: Fan Bingbing punya dua jenis kontrak. Baik sebagai bintang film, bintang TV, model maupun sebagai penyanyi.
Ada kontrak yang sesungguhnya –sesuai dengan tarifnyi– dan ada kontrak pura-pura yang dilaporkan ke petugas pajak –yang nilainya jauh lebih kecil. Termasuk ketika Fan Bingbing main film di Hongkongwood dan Hollywood.
Akhirnya Fan Bingbing dilepas. Menjadi orang bebas lagi. Tentu ia harus membayar kekurangan pajak yang sekitar Rp 2,5 triliun itu. Betapa kaya artis Fan Bingbing ini. Tapi dia memilih menyelamatkan masa depan dengan cara menyelesaikan pajaknya.
Fan Bingbing sulit mengelak dari tuduhan itu. Yang melaporkannyi ke pihak berwajib adalah tokoh selebriti terkenal juga. Produser acara-acara TV terkemuka. Termasuk acara yang melibatkan Fan Bingbing sebagai artisnya.
Fan Bingbing akhirnya mengaku bersalah. Sekarang sudah kembali menjadi mesin uang lagi. Tapi siapa rela kehilangan uang Rp 2,5 triliun seperti Fan Bingbing. Hanya gara-gara laporan sejawatnya. Ada juga pengusaha yang ngotot merasa tidak bersalah. Bahkan berusaha melawan. Seperti yang terjadi di kota Ningbo. Akhirnya pengusaha ini diajukan ke pengadilan. Dihukum mati. Uang yang dipermainkan memang terlalu besar –setara dengan yang terjadi di Jiwasraya.
Kejadian di Ningbo itu juga di bidang asuransi. Yang berkembang ke berbagai sektor bisnis. Terlalu banyak uang yang mengalir ke mana-mana. Termasuk uang dari bank pemerintah dan uang masyarakat. Tidak seperti Fan Bingbing, ia memilih mati.
Ada juga pengusaha besar yang mencoba melarikan diri. Bersembunyi di Hong Kong. Dua tahun kemudian, ketika ia sudah merasa aman, petugas mengintainya. Ia sedang merayakan hari raya Imlek di rumahnya di Hongkong.
Petugas dari Tiongkok pun diam-diam menangkapnya. Dibawa ke Tiongkok.
Semula pihak berwenang di Hong Kong seperti merasa tersinggung. Kok ditangkap sendiri. Kok tidak minta bantuan ke pihak kepolisian Hong Kong. Itu dianggap melanggar kedaulatan Hongkong sebagai daerah otonomi khusus.
Tapi rasanya Beijing sudah memberi tahu Hong Kong. Hanya saja kelihatannya ada TST –tahu sama tahu. Beijing tidak mau mengikuti prosedur yang terlalu berbelit –cara Hong Kong. Yang untuk menangkap orang harus lewat putusan pengadilan. Lalu yang ditangkap itu bisa bebas dengan cara membayar uang jaminan.
Akhirnya pengusaha itu diadili di Guangzhou. Dijatuhi hukuman mati.
Ada juga yang melarikan diri. Lalu menyerah. Dan mengaku bersalah. Dan menyelesaikan persoalannya. Ia diadili. Dengan hukuman penjara 6 tahun.
Yang paling fenomenal adalah konglomerat yang lari ke Amerika Serikat itu: Guo Wen Gui. Yang proyek infrastruktur terkait sarana Olimpiade Beijingnya luar biasa banyak. Wen Gui mendapat banyak proyek pemerintah. Lalu jadi konglomerat.
Ketika akan diusut ia lari. Sudah sangat banyak uangnya yang ditempatkan di luar negeri.
Di Amerika Wen Gui memilih menjadi musuh negara. Ia bergabung dengan aktivis anti Tiongkok. Ia melakukan perlawanan tiada henti. Termasuk membangun perusahaan media: khusus untuk memproduksi berita yang memojokkan Tiongkok.
Bahkan Wen Gui bergabung ke petinggi Presiden Donald Trump seperti Steve Banon –yang dikenal sebagai anti Tiongkok sampai ke tulang sumsumnya.
Wen Gui kini menjadi buron nomor satu Tiongkok. Berbagai usaha untuk menangkapnya masih gagal. Baik lewat jalur resmi maupun jalur mirip Hongkong.
Ada juga konglomerat yang lebih besar dari Wen Gui. Yang juga bermasalah. Tapi yang satu ini terlalu besar. Sampai memiliki perusahaan penerbangan raksasa: Hainan Airlines. Posisinya di jaringan politik juga sangat luas.
Ia meninggal di Prancis. Dua tahun lalu. Terjatuh ke jurang. Yakni saat ia lagi rekreasi di sana. Ia luar biasa kaya. Tidak punya istri. Tidak punya anak.
Namanya, Anda sudah tahu, Wang Jian. Kelahiran Tianjin.
Terlalu banyak contoh berbagai model penyelesaian masalah di kalangan businessman di Tiongkok. Yang semua contoh di atas sudah pernah saya tulis di Disway.
Lalu cara manakah yang akan dipilih Jack Ma?
Cara Fan Bingbing? Cara Guo Wen Gui? Atau cara lain lagi model Jack Ma sendiri?
Saya jadi ingat nasihat paling berharga dari Jack Ma. Di awal pandemi ini. Yang menandakan betapa bahaya pandemi kali ini. Anak atau cucu kita yang baru akan lahir tiga tahun lagi tidak akan bisa bercerita tentang hebatnya pandemi ini.
Begitu gawatnya pandemi ini sampai-sampai Jack Ma mengeluarkan fatwa seperti berikut ini: “Jangan mikir ekspansi. Bisa bertahan saja sudah harus dianggap sukses.”
Demikian juga secara pribadi: jangan terlalu banyak punya kemauan. Bisa menjaga badan tetap sehat saja sudah harus merasa sukses.
Saya merasa mendapat teguran oleh fatwa Jack Ma itu. Saya mendirikan Harian Disway justru di tengah-tengah pandemi.
Ternyata Jack Ma juga melanggar fatwanya sendiri. Ia ternyata merencanakan ekspansi yang justru terbesar dalam sejarah hidupnya. Bahkan terbesar untuk sejarah bisnis dunia. Ia mendirikan Ant Group (????).
Nama grup itu memang sangat rendah hati: Grup Semut. Bukan grup gajah. Tapi skala ekspansinya melebihi seluruh gajah bengkak yang paling bengkak sekali pun: USD 300 miliar dolar.
Bacalah Disway (Semut Raksasa-16 November). Betapa ambisiusnya Jack Ma. Ia menggabungkan semua lini bisnis di satu perusahaan. Di Ant Group itu. Bahkan dalam praktiknya semua lini bisnis itu ia kendalikan hanya dalam satu handphone yang kecil. Mulai dari bisnis bank, asuransi, penjaminan, underwriter, jasa notaris, jasa hukum, jasa logistik, jasa transfer, jasa audit….
Semua jenis bisnis ia kuasai lewat satu genggaman.
Hebohnya tidak ketulungan. Di seluruh dunia. Bagaimana bisa Jack Ma melakukan ekspansi terbesar dalam sejarah manusia.
Jack Ma, orangnya begitu kecil. Tapi pikiran dan langkahnya begitu besar.
Hanya dua hari sebelum ia mendapatkan uang segitu bengkak, ia harus lemes: izin tidak keluar. Kabarnya Presiden Xi Jinping sendiri yang memerintahkan: batalkan go public itu.
Mungkin Jack Ma dianggap sudah dalam tahap membahayakan. Sebanyak 800 juta orang sudah terikat ke dalam bisnisnya. Apalagi sifatnya sudah monopolistik. Dari hulu ke hilir. Dari muka ke belakang. Dari kanan ke kiri.
Apalagi Jack Ma, mantan guru bahasa Inggris itu, sudah mulai berani mengkritik pemerintah. Terutama mengkritik sistem perbankan, sebagai sistem yang kuno dan kurang fleksibel.
Sejak izin go public tidak keluar itu Jack Ma tidak terlihat sama sekali di publik. Juga tidak tampil di mana-mana. Termasuk tidak hadir di acara kebanggaannya: kompetisi bisnis di kalangan anak muda seluruh Afrika.
Acara ini disponsori Alibaba Foundation. Semua pengusaha muda se Afrika boleh ikut. Pemenang pertamanya mendapat hadiah sekitar Rp 5 miliar. Total hadiah USD 1 juta dolar.
Tahun lalu, yang finalnya Jack Ma tidak bisa hadir, diikuti 22.000 pengusaha se Afrika. Tiba-tiba NAMA Jack Ma sebagai juri dihapus dari selebaran. Panitia juga diberi tahu: Jack Tidak bisa hadir. Ada kegiatan lain.
Padahal Jack Ma berjanji akan selalu hadir. Bahkan ia terlihat sangat menikmati acara itu. Sesuai dengan jiwanya.
Baru sekarang mereka tahu: ada masalah yang lebih besar dari benua Afrika yang dihadapi Jack Ma.
Di tahun sebelumnya, 2019, peserta acara itu 10.000 pengusaha muda. Jack Ma menjadi salah satu juri tingkat final.
Pemenangnya adalah pengusaha muda yang menamakan usahanya Lifebank. Yakni membuat pelayanan pengadaan darah untuk seluruh negara dengan Apps. Lewat Apps itu orang yang perlu donasi darah bisa langsung terhubung dengan pendonor atau pusat donor darah.
Dia seorang wanita dari Nigeria.
Pemenang keduanya adalah dari Mesir. Yang membuat perusahaan riset berbasis Apps. Ia mengoordinasikan para ilmuwan yang mengalami kesulitan mengembangkan risetnya.
Sedang pemenang ketiganya adalah seorang gadis 25 tahun dari Rwanda. Dia bergerak dalam pelayanan air bersih ke berbagai daerah.
Para finalis, 10 orang, begitu bangga bisa tampil di depan Jack Ma. Mereka dengan antusias menceritakan bagaimana membangun bisnis sejak nol. Bahkan tiga finalis bisa diskusi satu meja dengan Jack Ma.
Jack Ma pun tampak begitu terharu melihat masa depan anak muda Afrika. Bahkan ia sempat ikut naik panggung. Yakni ketika penyanyi rapp terkemuka dari Prancis, Yaolow, menghibur malam final itu. Dengan syair lagu “Saya mau jadi Jack Ma. Kita mau jadi Ma Yun.” yang di-rap-kan.
Jack Ma pun –nama aslinya Ma Yun– semula hanya bergoyang di tempat duduknya di tempat penjurian. Lalu naik panggung. Ikut goyang rap di final itu.
Rasanya itulah kebahagiaan terakhir Jack Ma. Ia tampak bahagia sekali.
Setelah itu pandemi melanda dunia. Setelah itu ia terlibat perencanaan besar ekspansi gila-gilaan. Setelah itu ia pusing akibat izin go public yang tidak bisa keluar.
Setelah itu ia hilang. Atau menghilang. Sampai sekarang.
Jack Ma bukan Guo Wen Gui. Ia juga bukan Fan Bingbing.
Kita ingin tahu kelak: siapa Jack Ma. (*)