Oleh: Dahlan Iskan
ANDA sudah hafal meme ini: polisi tembak polisi, CCTV yang duluan mati. Atau yang ini: polisi tembak polisi, di rumah polisi, diperiksa polisi... justru saya lupa terusan bunyi meme itu.
Saya ikut mati: mati angin. Pekerjaan lagi menggunung –1001 gunung ukuran 48 semua. Berita penembakan di Duren Sawit 3 itu hanya terbaca sepotong-sepotong. Ada satu berita yang kelihatannya agak panjang: judulnya ''Sembilan Keanehan...''. Begitu saya buka, berita itu dipotong menjadi lima laman. Saya jengkel. Gak mau lagi membuka halaman 2 dan seterusnya. Juga begitu banyak iklan di berita itu. Ribet.
Saya urung ingin mengutip ''Sembilan keanehan....'' itu. Toh Anda juga sudah membacanya.
Tapi hari ini adalah hari Minggu. Biasanya Disway terbit dengan berita penembakan. Benar. Banyak sekali penembakkan di Amerika. Polisi pun ditembak: 3 polisi mati. Ditambah anjing pelacaknya.
Tapi saya malu menulis tentang itu. Kan ada gajah di pelupuk mata. Mengapa harus melihat kota kecil Allen di pelosok Kentucky.
Tapi gajah itu terlalu besar. Saya sulit harus meraba bagian mananya. Maka saya mencari sisi lain saja dari gajah itu: saya telepon jaringan Disway di Jambi.
"Tolong kirim wartawan ke kampungnya Brigadir Joshua Hutabarat," pinta saya ke pimpinan harian Jambi Ekspres Sarkawi.
"Siap," jawabnya.
"Berangkat setelah Subuh ya, biar bisa untuk Disway edisi tembak-menembak Minggu," kata saya.
SD Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. / Foto : M Ridwan / Jambi Ekspres
Tiga wartawan pun meninggalkan Jambi. Sabtu kemarin. Sebelum pukul 06.00. Mereka naik mobil menyusuri jalan utama ke arah Palembang. Sebelum perbatasan Jambi-Sumsel mereka harus belok kanan. Memasuki kawasan kebun sawit yang luas. Itulah kebun sawit yang sudah berumur lebih 15 tahun.
Setengah membelah kebun sawit mereka tiba di desa Suka Makmur. Berarti 68 Km perjalanan yang mereka tempuh. Banyaknya truk sawit membuat jarak itu begitu jauh: dua jam.
Nama Brigadir Joshua terkenal di seantero Jambi –bahkan Nusantara. Tidak adil kalau tidak ada media Amerika yang menulis tentang kematiannya.
"Mudah sekali mencari rumah orang tuanya," ujar Andri Brilliant Avolda, salah satu dari tiga wartawan itu. Andri, 28 tahun, lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang.
Andri ditemani M Hafizh Alatas dan wartawan foto M Ridwan. Hafizh lahir di Mangun Jayo dan lulus dari pertanian Universitas Batanghari. Sedang Ridwan pernah memenangkan foto jurnalistik terbaik Dahlan Iskan Award tahun 2011.
"Rumah beliau di belakang SDN Suka Makmur itu," ujar Andri yang kelahiran Sungai Penuh itu.
Keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. / Foto : M Ridwan Jambi Ekspres
Itu memang rumah dinas. Ibunda Brigadir Joshua, Rosti Simanjuntak, adalah guru SD di situ. Di situ pula Brigadir Joshua sekolah. Sempat diajar sendiri oleh Sang Ibu.
Ke rumah itu pula peti jenazah Brigadir Joshua diantar pulang. Empat hari setelah tewas di tembak-menembak di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo.
Di rumah itu peti dibuka. Diteliti. Ada luka-luka. Dan memar di perut. Dan jarinya nyaris putus. "Keluarga memotret semua itu," ujar Andri mengutip keterangan keluarga.
Suasana rumah masih penuh duka. Masih banyak famili yang datang. Harapan terakhir keluarga pun tidak kesampaian. "Keluarga berharap bisa dimakamkan secara militer," ujar Andri. Tapi tidak bisa. "Alasan petugas, administrasinya belum lengkap," ujar Samuel Hutabarat, ayahanda Brigadir Joshua. Sang Ayah heran. Sudah diberangkatkan dari Jakarta mestinya sudah lengkap.
Ya sudah. Dimakamkanlah Joshua dengan upacara agama. Pemakamannya sekitar 2 Km dari rumahnya.
Rumah itu rumah bedeng. Empat pintu. Hanya dua yang terisi. Salah satunya ayah-ibu Brigadir Joshua. Mereka hanya berdua di rumah itu. Anak pertama, wanita, bekerja di Jambi, di karantina pertanian. Joshua adalah anak kedua. Adik wanitanya baru lulus dari Universitas Jambi, jurusan kesehatan masyarakat. Si bungsu, laki-laki, jadi polisi: Bripda Mahareza Hutabarat.
Brigadir Joshua setidaknya sudah dua kali bahagia dalam hidupnya: saat diterima sebagai anggota Polri dan saat diterima seleksi menjadi ajudan perwira.
Joshua, setamat SMAN di Muara Bungo, memang langsung melamar jadi polisi. Penempatan pertamanya di Jambi. Di pedalaman. Di Merangin. Di kompi Brimob di situ. Lebih 3 tahun Joshua bertugas di Merangin. Ia pun berkenalan dengan gadis di situ: Vera. Mereka pacaran. Sudah 8 tahun masih setia. Mereka bertekad segera kawin. Ayah-ibu Joshua pun merestui.
Kali terakhir Joshua pulang kampung adalah akhir tahun 2021 lalu. Liburan Natal. "Ia dekat sekali dengan ibunya. Tidur di ketiak ibunya," ujar Samuel.
Tanggal 5 Januari 2022 Joshua balik ke Jakarta. "Ia membeli banyak sekali oleh-oleh khas Jambi untuk bapak dan ibu," ujar Samuel yang kini berumur 57 tahun. Yang dimaksud bapak dan ibu adalah Irjen Pol Ferdy Mambo dan istri. "Ongkos bagasinya saja Rp 2 juta," ujar Samuel. Sebagai petani sawit kecil-kecilan, Samuel kaget dengan angka itu. Ia pun menyarankan apakah tidak dikirim lewat paket saja. Lebih murah. Yang terpenting saja yang dibawa sendiri. Dan yang terpenting itu adalah pempek ''Selamat'' yang memang terkenal di Jambi
Membayangkan menjadi ajudan jenderal memang membahagiakan Joshua. Waktu itu, ia sedang bertugas di Brimob Jambi –dipindah dari Merangin. Ia melihat ada seleksi untuk menjadi ajudan. Ia pun melamar. Mengikuti tes. Lulus. Bahkan langsung bertugas. "Ia tidak sempat pulang lagi ke Jambi. Ia minta adiknya mengepak barang-barangnya untuk dikirim ke Jakarta," ujar Samuel.