iklan Dr. Noviardi Ferzi.
Dr. Noviardi Ferzi.

Oleh : Dr. Noviardi Ferzi

Soal Inflasi, Provinsi Jambi masuk zona merah. Bayangkan dari 37 provinsi di Indonesia, Jambi mencatatkan inflasi yang paling tinggi, yakni mencapai 8,55 persen. Bahkan Presiden Jokowi sampai mengucapkan narasi "Jambi hati-hati," dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 18 Agustus 2022 kemarin.

Data ini disampaikan agar kepala daerah setempat bisa menyelesaikan lonjakan inflasi dengan mencari sumber penyebabnya. Jika dirujuk lebih dalam, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi melaporkan dua daerah yang menjadi penyumbang inflasi tertinggi nasional, yakni Kota Jambi dan Kota Muara Bungo, yang dipicu masalah ketersediaan barang kebutuhan dan harganya di pasaran yang sedang naik.

Salah satu penyebabnya adalah inflasi volatile food yang mencapai 11,47 persen (yoy) dari seharusnya maksimal 6 persen. Sementara itu, inflasi administered prices, yang di dalamnya ada tiket pesawat, mencapai 6,51 persen (yoy).

Lalu, persoalannya apa jika inflasi tinggi ? Kurang lebih begitu mayoritas pertanyaan publik saat data tersebut tersebar luas. Tulisan ini mencoba mengulasnya.

Dampak dari kenaikan harga akan dirasakan langsung ke daya beli masyarakat yang menurun, sehingga meningkatkan jumlah orang miskin baru.

Membaca inflasi yang terjadi di Kota Jambi dan Bungo, dampaknya bukan hanya itu. Inflasi adalah gejala awal kemiskinan suatu daerah. Hampir semua kasus resesi suatu negara atau kemiskinan akut di daerah diawali dari Inflasi. 

Inflasi adalah awal masuk dari kemiskinan masyarakat. Jika harga naik, alokasi uang habis untuk belanja akan makin kecil, jika makan saja sulit, apa lagi untuk tabungan dan investasi, jika masyarakat tak mampu menabung, ekonomi akan melemah, karena bank tak mampu memainkan perannya secara optimal. Lama - lama orang kehilangan daya beli, jika tak mampu beli kualitas hidup menurun, kekurangan gizi.

Selain itu, secara fundamental, ada tiga alasan mengapa tingkat inflasi layak untuk ditakuti. Pertama, laju inflasi terbesar biasanya terjadi pada komoditas bahan makanan. Kenaikan harga membuat daya tahan pangan masyarakat melemah, jika berlanjut inflasi akan memicu kasus kurang gizi, hal inilah yang sebenarnya menjawab kenapa angka stunting di Kota Jambi tinggi, kurangnya asupan makanan karena harga yang makin tak terbeli.

Di bulan Juli kemarin, harga cabai merah sebagai contoh mencapai 100 ribu rupiah per kilo, bukan hanya cabai merah, hampir semua bahan pangan saat ini mengalami kenaikan harga, dari daging ayam, telur dan sayur mayur. Jika semuanya mahal, tentu pilihan logisnya mengurangi konsumsi. 

Kelompok yang paling dirugikan dengan naiknya harga bahan makanan tentu saja adalah para penjual makanan jadi. Tidak mudah bagi mereka untuk menyesuaikan harga dengan cepat karena takut kehilangan konsumen. Sedangkan bagi konsumen rumah tangga karena pengeluaran untuk bahan makanan menjadi prioritas utama sehari-hari maka kendati harganya naik, rumah tangga akan tetap melakukan pembelian meski dalam jumlah yang terbatas 

Konsekuensinya alokasi pengeluaran untuk komoditas lain seperti pakaian dan perlengkapan rumah tangga, yang notabene merupakan produk-produk industri pengolahan, harus dikurangi. Tentunya hal ini berakibat negatif pada sektor industri pengolahan yang berkonstribusi sekitar 20 persen terhadap PDB nasional. Di samping itu inflasi juga menggerus daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga pada PDB menjadi kurang signifikan.

Kedua, inflasi yang tinggi menyebabkan investasi sulit tumbuh pesat. Secara teori tingkat inflasi yang cenderung tinggi sepanjang waktu membuat masyarakat berekspektasi inflasi di periode berikutnya juga tinggi. Alhasil suku bunga nominal terdorong ke level yang lebih tinggi pula sesuai dengan efek fisher. Suku bunga sendiri merupakan harga dari meminjam dana untuk berinvestasi. Oleh karena itu semakin tinggi suku bunga maka tingkat investasi juga semakin rendah ceteris paribus. Saat ini investasi berkontribusi sebesar 29, 86 persen terhadap PDB. Ke depannya pun sangat sulit bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan karena rata-rata inflasi pada awal 2022 masih cukup tinggi.


Berita Terkait