Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Inflasi Provinsi Jambi mencapai 8.55 % tertinggi secara nasional. Hebatnya situasi ini disampaikan langsung Presiden Jokowi, akibatnya semua kebakaran jenggot, mau dibantah, data susah, karena apa yang disampaikan presiden berasal dari Bank Indonesia (BI) berdasarkan laporan BPS untuk survei Juli 2022 yang diumumkaan Agustus 2022.
Laksana pemadam kebakaran, pemerintah daerah Jambi semua aktif melakukan koordinasi untuk menekan Inflasi yang rekor nasional tersebut. Salah satu upaya yang diambil pemerintah adalah dengan operasi pasar, menyiapkan posko - posko yang menjual produk pangan dengan harga lebih rendah dari pasaran.
Harapannya harga bisa ditekan karena masyarakat punya alternatip pangan murah dari pemerintah. Namun dari kacamata psikologi ekonomi, operasi pasar (OP) kurang efektif untuk menekan harga komoditas pokok yang telanjur melambung tinggi. Sebab, langkah ini hanya berdampak secara lokal sehingga dampaknya kurang merata.
Kalaupun ada penurunan harga, bisa dipastikan hanya berlaku di lokasi yang menjadi tenpat operasi pasar, katakanlah seperti Pasar Angso Duo, di warung - warung kecil atau beberapa pasar harga tidak terlalu berpengaruh.
Menurut saya, operasi pasar dalam skala terbatas ini hanya sukses menekan angka inflasi di atas kertas, di atas kertas, karena pasar angso duo selalu dijadikan dijadikan sampel survei inflasi bulan berikutnya.
Sehingga jika Inflasi bulan Agustus 2022 nanti diumumkan, dan hasilnya Inflasi turun, angka ini lebih disebabkan operasi pasar lokal terbatas ini, dibanding gambaran riil tentang harga - harga pangan secara umum di masyarakat.
Operasi pasar dengan cara pemerintah atau swasta membeli suatu barang lalu menjualnya dengan harga yang lebih murah, lebih tepat digolongkan sebagai subsidi harga, dibanding kestabilan produksi dan distribusi pangan yang terkait ketersediaan pasokan di masing-masing daerah yang berbeda.
Karena operasi pasar murah punya keterbatasan jangkauan maupun keterbatasan jumlah produk. Operasi pasar juga hanya bersifat temporer dan tidak permanen. Solusi operasi pasar hanya bersifat menambah pasokan dan menurunkan harga secara temporer dalam waktu terbatas.
Sebenarnya daripada melakukan operasi pasar maupun pasar murah, lebih baik pemerintah daerah mengoptimalkan peranan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), khususnya bisa meminimalkan informasi yang tidak simetris.
Saat ini masih terjadi informasi yang tidak simetris atau asymmetric information terkait alasan naiknya harga sejumlah komoditas pokok. Padahal TPID seharusnya mampu mencari penyebab kenaikan harga belum juga stabil.
Seperti misalnya, saat cabai merah keriting harganya terus naik. TPID harus melakukan survei secara langsung untuk mengetahui penyebab kenaikan tersebut, apakah karena distribusi terkendala atau alasan lain. Baru kemudian cari solusinya. Hal ini yang masih dilewatkan.