“Kami berusaha mengelola sebaik mungkin, meski hanya sekedar mencarikan selimut untuk anak-anak dan bayi. Mereka menderita kekurangan gizi. Mereka mudah sakit, bahkan meninggal,” kata dokter tersebut kepada Al Jazeera.
Namun perang tidak menghentikan Afnan dan Moustapha untuk menikah di Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir.
“Rumah yang seharusnya menjadi tempat tinggal pengantin pria hancur, dan ketika perang masih berlangsung, kami pikir yang terbaik bagi mereka adalah menikah,” kata Ayman Shamlakh, paman pengantin pria.
“Kita semua mengalami tragedi yang sama. Namun, kita harus terus hidup, dan hidup harus terus berjalan.”
Mohamed Gebreel, ayah pengantin wanita, mengatakan dia tidak ragu untuk melanjutkan upacara tersebut. “Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan meskipun ada kematian, pembunuhan, dan kehancuran,” katanya. (*)
Sumber: tempo.co