Oleh sebab itu sudah semestinya kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat “move on” dari passive legislation ke affirmative action dalam mewujudkan pembentukan hukum yang menjamin persamaan hak dan keadilan. Affirmative action adalah kebijakan yang dikeluarkan untuk kelompok tertentu yang tidak memiliki representasi secara memadai pada posisi-posisi penting di masyarakat sebagai akibat sejarah diskriminasi (Hendri Sayuti, 2013). Jika menggunakan pendapat Elizabeth S. Anderson, maka tujuan affirmative action termasuk untuk menghilangkan semua hambatan dalam sistem dan norma terhadap kelompok tertentu seperti ras, gender, etnisitas, maupun orientasi seksual sebagai akibat sejarah ketidakadilan dan ketidaksetaraan (Elizabeth S Anderson, 2002). Dalam konteks mewujudkan persamaan hak dan keadilan bagi masyarakat adat, affirmative action harus diartikan sebagai upaya untuk mempermudah masyarakat adat mendapatkan pengakuan sebagai subjek hukum dan hutan adatnya dengan cara menghilangkan semua hambatan dalam sistem dan norma yang mempersulit masyarakat adat untuk memperoleh itu, tanpa kecuali.
Salah satu jalan keluarnya misalkan Pemerintah merubah ketentuan yang mewajibkan pengakuan MHA harus diakui melalui Perda terlepas apakah itu harus Perda khusus, Perda Umum atau Perda Pedoman Tata Cara Pengakuan MHA sekalipun, menjadi cukup hanya lewat SK Kepala Daerah saja. Dengan skema seperti ini, bukan hanya tetap mempertahankan kerangka otonomi daerah dalam urusan pengakuan masyarakat adat namun juga akan jauh lebih efektif dan hemat biaya. Sedangkan siasat agar langkah diatas tidak bertentangan dengan putusan MK serta berbagai UU sektoral lainnya, maka jalan keluarnya Pemerintah memasukan terobosan kebijakan tersebut melalui penyusunan satu regulasi kodifikatif yang mengatur tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat dengan metode omnibus dimana ketentuan ini harus menarik dan menyesuaikan pasal-pasal terkait masyarakat adat yang tersebar pada berbagai undang undang tersebut. Upaya ini penting dilakukan untuk memutus mata rantai ketidakadilan yang dialami masyarakat adat selama ini. Tanpa memangkas segala hambatan hukum, sistem dan norma yang mempersulit masyarakat adat mendapatkan haknya tentu hanya akan memperpanjang ketimpangan dan ketidakadilan bagi masyarakat adat. Meminjam istilah Philip Nonet, jika hukum sudah diisiolasi dari berbagai institusi sosial di sekitarnya maka hukum tak bisa lagi diandalkan sebagai alat perubahan untuk mencapai keadilan substantif karena hukum sudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia, Ini adalah tanda bahaya. Dalam diskursus keadilan iklim inilah fondasi kejahatan iklim sesungguhnya.
Mahasiswa Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Jambi