Oleh: Martayadi Tajuddin
Polemik pembangunan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) oleh PT Sinar Anugerah Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, membuka lembar baru perdebatan panjang tentang relasi antara investasi dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Sementara perusahaan mengklaim legalitas dan pemerintah daerah menyatakan dukungan, publik justru mempertanyakan transparansi, keadilan tata ruang, dan komitmen terhadap perlindungan ekosistem lokal.
Proyek ini tak ubahnya cermin dari kondisi tata kelola ruang yang timpang: antara kekuatan modal dan suara warga, antara dorongan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian ruang hidup. Ia bukan hanya masalah administratif atau teknis, melainkan pertanyaan moral dan strategis: pembangunan seperti apa yang ingin kita wariskan ke generasi mendatang?
Legalitas Formal vs Legitimasi Sosial
Pihak PT SAS menyebut bahwa mereka telah mengantongi izin sejak 2015. Namun, perizinan tersebut terbit sebelum pengesahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi pada 2016, serta tak sejalan dengan RTRW Provinsi Jambi 2023–2043. Kedua dokumen itu secara eksplisit mengklasifikasikan lokasi proyek sebagai zona non-industri.
Dalam konteks hukum tata ruang, kesesuaian lokasi dengan RTRW bersifat imperatif. Pembangunan yang tidak berada dalam zona peruntukan sesuai RTRW berpotensi melanggar UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahkan meski mengantongi izin lama. Dengan kata lain, proyek dapat sah secara administratif, namun tidak legitimate secara sosial dan ekologis.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah pengakuan sebagian warga yang merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal partisipasi publik adalah prinsip dasar yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketika pembangunan berjalan tanpa konsultasi berarti, maka legitimasi sosial proyek tersebut melemah secara mendasar.
Rawa Bukan Lahan Kosong
Ekosistem rawa yang diklaim telah ditimbun oleh proyek ini bukan sekadar lahan tak produktif. Ia merupakan sistem ekologis yang memainkan peran penting dalam keseimbangan hidrologis—menyerap limpasan air hujan, menyimpan karbon, serta menjadi benteng alami terhadap banjir.
Studi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menyebutkan bahwa kehilangan 1 hektare lahan rawa di daerah dataran rendah dapat meningkatkan potensi banjir di area seluas 3 hingga 5 hektare sekitarnya. Ditambah lagi, lokasi TUKS yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari instalasi PDAM Kota Jambi menimbulkan risiko terhadap kualitas dan kuantitas air baku warga.
Di era perubahan iklim, mengorbankan ekosistem rawa demi pembangunan non-esensial bukanlah keputusan bijak. Kota Jambi sendiri kerap dilanda banjir musiman. Maka proyek seperti ini, bila tidak diawasi ketat, berpotensi memperparah kerentanan ekologis dan bencana hidrometeorologis.
Bukan Kasus Isolated
Polemik TUKS PT SAS bukanlah kasus tunggal. Di berbagai daerah, konflik serupa terus bermunculan.
