Pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan izin pembangunan terminal batu bara PT ODICO di Tanah Laut, Kalimantan Selatan, setelah gugatan warga atas kerusakan mangrove dan zona tangkap nelayan dikabulkan. Di Sulawesi Tenggara, pembangunan pelabuhan PT TBL (2019) yang minim sosialisasi memicu protes dan blokade warga, menyebabkan stagnasi logistik dan biaya sosial yang tinggi.
Yang paling monumental adalah pembangunan pabrik semen dan pelabuhan di Rembang, Jawa Tengah. Meski proyek tetap berjalan setelah rangkaian gugatan hukum, konflik sosial yang panjang dan keretakan sosial di masyarakat lokal menyisakan luka mendalam. Pelajaran dari berbagai kasus tersebut jelas: investasi tanpa legitimasi sosial bukan hanya merugikan warga, tapi juga melemahkan keberlanjutan bisnis itu sendiri.
Investasi Tak Boleh Merusak Masa Depan
Tidak dapat disangkal, investasi adalah penggerak utama ekonomi daerah. Pemerintah daerah tentu berharap kehadiran TUKS dapat mempercepat alur logistik dan meningkatkan pendapatan dari sektor pertambangan. Namun pertanyaannya bukan pada seberapa besar investasi yang masuk, melainkan bagaimana investasi tersebut dikelola agar tidak merusak hak-hak lingkungan dan sosial warga.
Paradigma investasi global telah berubah. Investor kelas dunia kini menempatkan Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai tolok ukur utama kelayakan proyek. Proyek yang rawan konflik sosial, merusak lingkungan, dan tidak sejalan dengan tata ruang resmi cenderung dihindari oleh lembaga keuangan internasional.
Pemerintah Provinsi Jambi dan Kota Jambi harus melihat bahwa menjadi daerah ramah investasi tidak berarti memberi kelonggaran terhadap pelanggaran lingkungan. Justru dengan menegakkan kepatuhan tata ruang dan keberlanjutan, daerah akan dipercaya sebagai tempat aman berinvestasi—bukan hanya cepat, tapi juga adil dan berjangka panjang.
Jalan Tengah yang Adil dan Berbasis Bukti
Jalan tengah bukan hal yang mustahil. Beberapa langkah konkret dapat diambil secara konstruktif:
Pertama : audit independen perlu segera dilakukan untuk menilai legalitas, dampak lingkungan, dan kesesuaian RTRW secara objektif. Tim ini harus terdiri dari akademisi, lembaga lingkungan, perwakilan masyarakat, serta unsur pemerintah yang tak terafiliasi dengan proyek.
Kedua : forum multipihak terbuka harus dibentuk. Dialog antara warga, perusahaan, pemerintah, dan pihak netral perlu dilakukan untuk membicarakan masa depan proyek secara jujur dan inklusif. Apakah relokasi diperlukan? Apakah proyek bisa dimodifikasi agar sesuai zona industri?
Ketiga : jika proyek dinyatakan layak secara terbatas, maka desain ulang harus dilakukan. Termasuk penyediaan zona hijau penyangga, pengendalian polusi, pembatasan jam operasional, dan sistem drainase yang mencegah limpasan. Kompensasi kepada warga harus lebih dari sekadar santunan: ia harus mencakup perlindungan sumber air, pemberdayaan ekonomi lokal, dan monitoring jangka panjang.
Keempat : seluruh dokumen izin dan Amdal wajib dibuka ke publik. Transparansi adalah kunci dari kepercayaan.
Jalan Menuju Keadilan Ruang
Kasus TUKS PT SAS bukan soal menolak investasi. Ini soal membangun kesadaran bersama bahwa investasi yang baik bukan yang cepat, tapi yang taat pada hukum, menghargai ruang hidup, dan memberi manfaat jangka panjang bagi semua pihak.
Ruang hidup adalah hak konstitusional warga negara. Tata ruang bukan milik perencana atau investor, tetapi milik publik yang akan menanggung dampaknya. Ketika rawa ditimbun, suara banjir dan polusi akan menggema lebih keras dari argumen legalitas.
Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat kini berada di simpang jalan. Menempuh jalan dialog dan keadilan ekologis akan membuka ruang harmoni. Sebaliknya, jika proyek dilanjutkan tanpa koreksi, maka konflik yang lebih dalam tinggal menunggu waktu. (MT)
Martayadi Tajuddin adalah akademisi dan pemerhati kebijakan tata ruang, lingkungan, dan pembangunan daerah.(*)
