iklan PENAMPILAN TARI: Penari saat menampilkan tari Rangguk di salah satu acara.
PENAMPILAN TARI: Penari saat menampilkan tari Rangguk di salah satu acara.
TARI Rangguk merupakan tari tradisional Kabupaten Kerinci. Dari sejarah perkembangannya tari ini kental dengan penyebaran Agama Islam di Kerinci.

Rangguk dalam bahasa Kerinci diucapkan dalam berbagai versi dialek. Masyarakat Sungai Penuh mengatakannya Ranggoak, Pulau Tengah Rangguek, sedangkan dialek Kerinci Hulu adalah Rangguk.

Tarian ini pada awal perkembangannya ditarikan oleh laki-laki dan diiringi dengan tetabuhan rebana, sebagai hiburan setelah seharian bekerja keras.

Gerakan tari Rangguk pada mulanya sangat sederhana, yakni para penari duduk dalam posisi melingkar menabuh rebana dan menyanyi. Masa itu, wanita dianggap tabu melakukan Rangguk. Mungkin disebabkan oleh pengaruh Islam yang sangat kuat dalam masyarakat ini.

Konon pada awal abad ke XIX berangkatlah seorang ulama dari dusun Cupak Kerinci ke tanah suci Mekah untuk melakukan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama Islam, karena dirinya adalah ulama dan pemuka masyarakat.

“Dalam perjalanannya itu, bukan hanya ilmu agama yang dipelajarinya, tapi juga seluk beluk budaya terutama kesenian juga dipelajarinya. Apa yang dipelajarinya sangat penting bagi dirinya sebagai ulama dan pemuka masyarakat,” kata Kabid Pariwisata Kerinci, Jalaluddin.

Pada masa itu, meskipun Islam telah datang sejak sekitar enam abad yang lalu di Kerinci, perkembangannya sangat lambat dan menghadapi kendala adat, tata karma dan perilaku masyarakat. Maka berbekal ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya di tanah suci, mulailah ia berusaha menyebarkan agama Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadits.
--batas--
Usahanya tidaklah semudah yang diharapkannya, karena meski ia telah berusaha melakukan berbagai cara baik melalui khutbah, pidato maupun berbagai perbuatan, semuanya tidak begitu menarik minat masyarakat. “Apalagi kaum mudanya yang konon pada saat itu lebih menyukai adu ayam, minuman keras dan berjudi,” tambahnya.

Melihat bahwa masyarakat juga senang akan musik, maka ia mulai menggunakan seni sebagai alat bantunya dalam berdakwah.  Sebagai permulaan ia perkenalkan musik rebana karena kawula muda di Arab juga sangat menyenangi alat musik yang terbuat dari kayu dan kulit binatang itu.

Seni rebana tidak segera diajarkan begitu saja, tetapi dimulai dengan pelajaran pencak silat. Jadi sambil mempelajari pencak silat, para pemuda juga mempelajari rebana. Saat menyenandungkan lagu dan menabuh rebana sembari menggerakkan badan mengikuti irama, disisipkan ajaran-ajaran Islam dan puji-pujian kepada Allah dan Nabi-Nya.

“Kegiatan tersebut dilakukan sebelum melakukan kegiatan pelajaran pencak silat yang selalu dimulai dengan menyebut nama Allah, Bismillahirrohmaanirrohiim,” jelasnya.

Setelah sang ulama wafat, kebiasaan bersenandung sambil berpantun dengan diiringi rebana tetap dilakukan oleh masyarakat Cupak. Bahkan, saat ini berkembang menjadi satu kesenian baru yang disebut tari Rangguk. “Karena dengan duduk secara melingkar, para pemainnya akan menabuh rebana sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,” tambahnya.

Dalam perkembangannya, Rangguk digunakan sebagai suatu upacara penerimaan tamu dimana para penerima tamu berbaris membentuk pagar betis, menerima dan mengangguk kepada setiap tamu yang tiba di tempat.

Gerakan-gerakan yang tadinya hanya gerakan yang mengikuti irama lagu lagu dan pantun, berkembang dengan menirukan gerakan sesuai mengikuti kata-kata dalam pantun dengan menirukan gerakan alam, baik gerak tetumbuhan, binatang maupun manusia. “Demikianlah, dari suatu tarian yang muncul dari kebiasaan di dusun kecil bernama Cupak, Rangguk menjadi milik kabupaten Kerinci dan Provinsi Jambi,” tandasnya.

Penulis : DIPAR KUSMI, jambi ekspres

Berita Terkait



add images