iklan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Jambi ternyata masih sulit diberantas. Bahkan, kasus per kasus setiap tahunnya cenderung memperlihatkan peningkatan.

Berdasarkan data yang diperoleh media ini dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jambi, sampai November 2013 ini, sudah tercatat 52 kasus kekerasan tersebut (selengkapnya lihta grafis).

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Provinsi Jambi, Nurbaeti, dikonfirmasi koran ini, kemarin,   mengatakan,  meningkatnya kekarasan tersebut dikarenakan banyak factor, bukan hanya karena kasusnya yang meningkat,  tapi dilihat dari sudut pandang lain. ‘’Sudah banyak masyarakat yang sadar bahwa ada lembaga yang menjadi wadah pengaduan terhadap kekerasan tersebut. Jadi mereka meminta lembaga kita untuk mendampingi,’’  jelasnya Rabu (20/11).

Menurut Nurbaeti, jenis kejahatannya juga beragam, kalau dulu hanya kekerasan penelantaran ekonomi dan psikis, kalau sekarang ini yang paling menonjol adalah kekerasan seksual. ‘’Kekerasan seksual paling banyak terjadi, seperti contohnya ada anak di bawah umur yang diperkosa ayah tirinya, dan ada juga anak di bawah umur yang dilecehkan secara seksual oleh tetangganya, bahkan banyak kekerasan seksual lainnya yang dilakukan oleh kerabat dekatnya sendiri,’’ terangnya.

Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan ini, katanya, selain memberikan pendampingan juga merupakan lembaga yang memberikan pelayanan kapada korban, mulai dari mediasi sampai ke proses peradilan. ‘’Kita mendampingi korban dari mediasi sampai ke pengadilan, karena kita memiliki azas, setiap anak yang melapor ke kita wajib kita lindungi, terlepas dia salah atau tidak, kita juga memiliki pengacara yang sukarela membantu si korban sampai ke pengadilan,” sebut Nurbaeti.

Lantas apa kendala yang dihadapi? Nurbaeti mengatakan, karena Lembaganya sering berhadapan dengan orang banyak, tentu akan ada kendala yang dihadapi. Seperti laporan-laporan fiktif, masih ada masyarakat yang beranggapan masalah kekerasan seksual itu tabu, tidak semua orang siap masalahnya di blow up ke public.

‘’Sebenarnya masih banyak fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak  yang terjadi, tetapi hanya sedikit yang berani untuk melaporkan, juga banyak kasus kekerasan seksual yang sudah kita tangani tidak mau di blow up karena kasusnya merupakan aib yang tidak harus diketahui publik, si korban hanya meminta direhabilitasi, sedang si pelaku hanya diberikan sangsi administrativ, sebenarnya dari kita tidak puas hanya diganjar administratif, seharusnya juga diberi ganjaran pidana,” pungkas Nurbaeti.

sumber: jambi ekspres

Berita Terkait



add images