iklan Penduduk setempat berjalan di daerah yang dilanda gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia, 2 Oktober 2018. Foto: REUTERS / Athit Perawongmetha
Penduduk setempat berjalan di daerah yang dilanda gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia, 2 Oktober 2018. Foto: REUTERS / Athit Perawongmetha

JAMBIUPDATE.CO, MAKASSAR Salah seorang korban gempa dan tsunami di Palu Sulawesi Tengah, Ratih bersyukur bisa bertahan dan selamat dari bencana.

Kini, Ratih dan anaknya berada di pengungsian Makassar setelah menaiki KRI 509 yang bersandar di Pelabuhan Soekarno Hatta.

Ratih menceritakan, saat gempa dia bersama keluarganya berlari ke gunung dan menetap selama tiga hari. Selama tiga hari itu, mereka dan warga lainnya hanya minum air dan berbagi makanan. Diakuinya rasa lapar tidak terasa, karena diakibatkan rasa takut yang lebih kuat.

Rasanya allhamdulillah bisa selamat. Karena pas terjadi gempa sudah mulai gelap, baru angin kencang. Pas gempa terbelah tanah dan langsung terdengar suara gemuruh dan air naik, kata Ratih dengan mata yang sudah lembab.

Ratih merupakan warga Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Selayar. Dia sudah menetap di Palu selama sepuluh tahun. Di Palu, dia bekerja sebagai pegawai honorer di SD Min 2 Palu, dan tinggal di Pantoloan.

Dia mengikuti suaminya ke Palu yang bekerja sebagai buruh bangunan.Suami masih di Palu karena lagi bujuk orang tuanya untuk ke Makassar, lanjut Ratih yang diiringi isak tangis.

Menurutnya, korban tsunami banyak berjatuhan diakibatkan alat pendeteksi tsunami yang dipasang dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Akibatnya, warga tidak mengetahui saat akan terjadinya tsunami.

Ratih merupakan salah satu dari lebih dari seribu korban gempa dan tsunami di Palu yang tiba di Makassar. Selain itu, sebanyak sembilan korban yang dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Sementara korban lainnya yang belum menemukan keluarganya akan ditampung di Asrama Haji Sudiang. (sul/fajar)


Sumber: www.sumeks.co.id

Berita Terkait



add images