iklan

Di Hongkong-lah MRT bisa berlaba. Tanpa subsidi sama sekali. Kebijakan pemerintah sangat terintegrasi. Perumahan (flat) dan pusat perbelanjaan harus di dekat stasiun MRT.

Kita harus belajar mengintegrasikannya seperti itu. Tapi, perumahan murah kita, sudah terlanjur jauh-jauh. Waktu membangunnya tidak ada pikiran integrasi itu.

Akibatnya biaya transportasi menjadi mahal. Untuk ke tempat kerja tidak bisa hanya mengandalkan kereta komuter yang murah.

Masing-masing orang lantas mengambil putusan sendiri-sendiri: membeli sepeda motor. Atau mobil cicilan. Jalan raya pun mampat.

Kunci sukses MRT di Hongkong adalah terintegrasinya pemukiman dan stasiun MRT.

Tapi dengan demo yang kian keras sekarang ini semua itu jadi susah. Termasuk yang sudah terlanjur tergantung pada MRT. Kian banyak stasiun yang ditutup.

Jumat kemarin stasiun Prince Edward pun ditutup. Ratusan orang mendemo MRT itu. Tuntutannya: minta rekaman CCTV atas demo tanggal 31 Agustus. Mereka berasumsi polisi berlebihan dalam menangani demo hari itu.

Tentu permintaan ditolak. Ada aturan yang harus ditaati MTR: rekaman CCTV hanya boleh diberikan kepada yang berwajib. Pihak lain tentu boleh juga. Asal ada perintah pengadilan.

Maka, menurut hukum, seharusnya mereka menggugat lewat pengadilan.

Gagal memperoleh rekaman, mereka mengamuk. Mesin karcis jadi sasaran. Demikian juga pintu masuk.

Pemimpin tertinggi Hongkong akhirnya memang mencabut total pengajuan RUU ekstradisi.


Berita Terkait