iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Net)

Hussein masih punya harapan untuk menjadi pemimpin. Tapi tidak di Makkah. Tidak di Madinah.

Melainkan di Iraq.

Memang banyak sekali pengikut Hussein di Iraq dan Iran –yang waktu itu masih menjadi satu negara.

Hussein pun menerima selembar surat. Isinya: pindahlah ke Iraq. “Kami di sini sangat merindukan Hussein,” begitu kira-kira bunyi surat itu.

Hussein menyanggupi. Ia pun meninggalkan Makkah. Dalam satu kafilah onta. Jalan darat. Berminggu-minggu. Melewati padang pasir antara Makkah-Iraq.

Dalam perjalanan itulah Hussein terus diintai pasukan penguasa. Diikuti dari jauh. Untuk dibunuh.

Hussein selalu selamat. Setiap terjadi usaha pembunuhan selalu bisa dihindari. Meski harus sampai lari terbirit. Sampai ketinggalan sandalnya. Akhirnya Hussein sampai tujuan.

Yakni sebuah wilayah yang tertera dalam surat undangan. Di situ –menurut surat yang ia terima dulu– Hussein akan disambut meriah. Dan dinobatkan sebagai pemimpin mereka.

Hussein tidak menyangka kalau surat undangan itu jebakan. Di situlah Hussein dibunuh. Kisah pembunuhan ini begitu khianatnya. Begitu dramatiknya.

Kepala Hussein dipenggal. Disepak ke sana. Disepak ke sini. Sebelum akhirnya ditusuk tongkat untuk diacung-acungkan keliling wilayah. Dan akhirnya dibawa ke Damaskus, Suriah, ibu kota negara Islam saat itu.

Semua itu terjadi tanggal 10 Suro. Yang di Iran, Pakistan, Afghanistan diperingati dengan besar-besaran. Dengan cara pawai besar. Sambil memukul-mukul dada. Untuk bisa merasakan penderitaan Hussein saat itu.

Tiap tahun pula jutaan orang berjalan kaki. Sejauh 70 km. Dari Kota Kufah ke padang Karbala –tempat kepala Hussein disepak-sepak itu.

Saya pernah dari Kufah ke Karbala. Tapi naik mobil. Bukan di tanggal 10 Suro.

Sejak itulah pengikut Hussein –ummat Syiah– sensitif pada barang bundar yang disepak-sepak. Mereka membayangkan itu sebagai kepala Imam Hussein.

Pernah sepak bola diharamkan di Iran. Dianggap tidak Islami. Tapi sebenarnya ya untuk melupakan sejarah nestapa itu.

Belakangan tim sepak bola Iran majunya luar biasa. Masuk final Piala Dunia.

Kegembiraan rakyat Iran juga meluap-luap. Pemerintahnya lantas mengakomodasikan keinginan rakyatnya itu. Agar bisa menjadi tuan rumah babak penyisihan Piala Dunia.

Kebetulan penguasa Iran saat ini sangat moderat. Tidak suka kekerasan.

Rakyat Iran ingin menyaksikan sendiri kehebatan tim nasional mereka. Di kandang mereka sendiri.


Berita Terkait