Saat mampir ke ruang kerjanyi saya pun melihat hasil-hasil penelitian berbagai macam virus di laptopnyi. Prinsipnya virus itu punya kaki-kaki untuk memijakkan diri. Pijakannya adalah sel di alat penafasan manusia.
Setelah kaki-kaki virus memperoleh pijakan yang pas, barulah sang virus mengeluarkan penyakitnya.
Kalau saja tempat berpijak kaki-kaki itu tidak tepat sang virus tidak bisa berproduksi. Ibarat orang mau berak. Kalau kakinya tidak tepat di pijakan pupnya tidak bisa keluar.
Karena itu struktur virus tersebut harus benar-benar diketahui. Kini struktur itu sudah diketahui. Tanpa pijakan yang tepat virus tidak bisa berkembang. Maka obat yang akan ditemukan adalah obat yang akan bisa menipu virus. Yakni obat yang bisa membuat pijakan yang persis diperlukan virus. Tapi sebenarnya itu pijakan palsu. Dengan demikian virus tidak bisa mengeluarkan ”pup” nya.
Dari 10 orang yang pernah diperiksa di lab Unair itu sebagian adalah pasien rumah sakit. Sebagian lagi orang yang datang untuk memeriksakan diri. Semuanya dicurigai menderita virus Corona. Hasilnya: bersih.
Salah satu dari mereka adalah seorang dokter. Sang dokter seperti terkena flu. Putrinya baru pulang dari luar negeri. Maka muncul kekhawatiran tertular virus Corona.
Sang dokter pun memeriksakan diri ke lab Unair. Ternyata negatif.
Sampai sekarang pun semua yang pernah diperiksa itu baik-baik saja.
Senyawa yang dibeli dari Jepang itu sendiri cukup untuk memeriksa 100 orang. Hasil pemeriksaannya pun bisa diketahui dengan cepat: 5 jam kemudian. Itu karena tidak perlu antre.
”Siapa pun bisa memeriksakan diri ke sini,” ujar Prof. Inge, yang sehari-harinya di Pusat Penelitian Penyakit Tropik di kampus C Unair itu. ”Tentu harus membayar. Rp 1 juta,” ujarnyi.
Dua guru besar ini juga ikut penasaran: mengapa orang Indonesia tidak terkena virus Corona. Keduanya masih terus mencari jawabnya.
Tapi beliau juga tidak terlalu heran. Waktu Arab Saudi dilanda wabah virus MERS, Indonesia juga aman. Padahal, begitu banyak jemaah haji yang ke Saudi.