iklan Makan bersama.
Makan bersama. (Net)

Oleh : Dahlan Iskan

Saya tidak mengalami kesulitan hidup dengan protokol Covid-19. Alhamdulillah. Tukang kebun tinggal di rumah. Sudah lebih 20 tahun. Sopir pun tinggal di rumah - yang sebenarnya sudah lebih mirip sekretaris keluarga.

Saya membayangkan sulitnya teman yang sopirnya tiap hari pulang. Yang di rumahnya tidak tahu ketemu siapa saja. Atau pergi ke mana saja.

Di rumah saya hampir sepenuhnya terkontrol. Hanya ada empat orang itu: saya, istri, Pak Man, dan Kang Sahidin itu.

Kami memang sesekali keluar rumah. Tapi dengan mobil yang sama. Yang tidak ada orang lain pernah ikut naik di mobil itu.

Ups... Pernah. Staf keuangan di perusahaan putri saya pernah ikut di mobil itu. Seminggu kemudian saya dengar ibunyi terkena Covid-19. Demikian juga ayahnyi.

Kami pun heboh --diam-diam.

Kami putuskan: mengarantina diri selama 10 hari --karena kejadiannya sudah seminggu sebelumnya. Karantina ketat. Sambil tiap hari merasakan apakah ada gejala Covid di antara kami. Demikian juga keluarga putri saya. Dan keluarga putra saya. Semua melakukan karantina dengan waswas yang tidak diperlihatkan.

Sambil menunggu nasib itu kami memperbaiki menu. Tiap pagi makan telur. Dua butir. Waktu itu belum puasa. Minum madu. Minum vitamin. Minum VCO --Virgin Coconut Oil. Makan pisang pagi sore. Makan manggis. Pepaya. Brokoli. Sayur-sayuran. Tidur dan tidur.

Tentu tetap menulis untuk DI’s Way.

Saya pun bertanya pada staf keuangan itu. Bapaknyi kerja di mana? Ibunyi kerja apa? Dia sendiri tinggal di mana.

Benar. Dia tinggal bersama bapak ibunyi. Gawat.

Ibunyi ibu rumah tangga. Ok.

Ayahnyi kerja di Jakarta. Gawat.

Tiap Jumat sore pulang ke Surabaya. Gawat.

Naik kereta api. Gawat.

Tahulah sudah kami, kira-kira apa yang terjadi.

Ayah ibunyi masuk di rumah sakit yang sama: Husada Utama. Dengan keluhan yang sama --khas Covid.

Dia sendiri karantina di rumah --di lantai atas. Adiknyi karantina di rumah yang sama --di lantai bawah. Mereka tidak menengok ayah-ibu. Tidak boleh.

Setelah lebih 10 hari di rumah sakit sang ayah sembuh. Sudah dinyatakan negatif. Sang ibu masih positif. Beberapa hari kemudian sang ibu juga sembuh. Negatif.

Seisi rumahnyi pun negatif. Kami tetap sehat sampai masa karantina selesai.

Kami ikut menarik nafas lega. Sampai 20 hari kemudian tetap juga sehat. Alhamdulillah.

Memang anak-anak saya berbeda pendapat. Setelah menerima info Covid di keluarga staf keuangan itu. Yang satu mengusulkan agar kami ramai-ramai tes. Yang satu berpendapat tidak usah --karantina saja. Kami diskusi panjang lewat WA. Putusan akhirnya bulat: karantina saja.

Waktu itu tes juga belum semudah sekarang.

Setelah masa karantina selesai cucu-cucu pun menjadi boleh ke rumah.

Khususnya tiap Sabtu sampai Minggu.

Ketika memasuki bulan Ramadan, kebiasaan berprotokol Covid sudah melekat. Kami merasa hidup normal --normal baru.

Tiap pagi tetap olahraga --olahraga Covid: pakai masker, cari yang bersinar matahari, dan jaga jarak. Termasuk di bulan puasa.

”Kok puasa-puasa olahraga satu jam?” tanya beberapa teman.

Jawab saya sama: saya ingat ayah saya. Yang di bulan puasa pun tetap ke sawah. Mencangkul. Sejak jam 6 sampai jam 10 pagi. Di bawah terik matahari. Dengan punggung telanjang.

Saya juga ingat waktu ayah pulang. Sambil memanggul cangkul di pundaknya. Betapa ayah saya itu terlihat lelah, haus, dan lapar. Lalu menggelar tikar di atas lantai --lantai rumah kami terbuat dari tanah.

Ayah pun tidur telentang di atas tikar itu. Tetap dengan celana ke sawah sampai di bawah lutut. Tanpa baju.

Saya lihat perutnya begitu kempes. Kulit perutnya seperti menempel di bagian dalam punggungnya. Begitu lelap tidurnya. Dengan kaki dan celana yang masih belepotan lumpur kering.

Ayah bangun ketika waktu zuhur tiba. Saat itulah baru cuci kaki. Lalu ganti celana dengan sarung. Ambil air wudu. Untuk salat zuhur.

Ayah lantas mengaji sampai asar tiba. Setelah salat asar ayah bersih-bersih pekarangan. Atau memperdalam parit dengan cangkul.

Olahraga saya di bulan puasa ini tidak ada artinya dibanding kerja keras ayah saya itu.

Setelah cucu-cucu boleh ke rumah, saya pun berpikir. Apa yang bisa saya lakukan dengan cucu-cucu itu.


Berita Terkait



add images