iklan Makan bersama.
Makan bersama. (Net)

Saya tawarkan untuk mengajari mereka Bahasa Mandarin. Mereka mau. Tentu kemampuan Bahasa Mandarin saya belum level untuk boleh mengajar. Tapi ini kan darurat.

Maka setiap jam 14.00 saya menjadi guru Mandarin untuk cucu-cucu saya. Selama 1,5 jam. Kurikulumnya saya sendiri yang menentukan. Bisa lebih tepat guna.

 

Ternyata yang tiga orang sudah mendapat pelajaran Bahasa Mandarin di Sekolah Ciputra. Saya tes asal-asalan, sudah tahu bahasa itu untuk tingkat dasar. Maka yang tiga orang lagi saja yang ikut pelajaran saya. Yakni mereka yang sekolahnya di Al Azhar International Surabaya.

Rumah saya menjadi seperti tempat kursus.

Di rumah kami tidak ada pembantu. Istri saya yang jadi pembantu. Mungkin pembantu termahal gajinya. Cuci pakaian, masak, belanja, dan menata rumah dia semua yang melakukan.

Itu sudah menjadi kebiasaan sejak dulu. Sudah biasa sibuk. Mungkin karena kami kawin dulu masih belum bisa membayar pembantu. Mungkin juga karena dia anak sulung dengan adik 11 orang.

Hanya sesekali Kang Sahidin masak sendiri --kalau ia lagi kangen masakan Sunda.

Salat tarawih pun kami berempat. Kang Sahidin yang jadi imam. Sabtu malam makmumnya lebih banyak: ke tambahan cucu saya, 6 orang.

Lebaran nanti kami sudah memutuskan: salat Idul Fitri di halaman rumah. Anak-cucu-menantu ikut serta. Kang Sahidin imamnya --saya yang akan khotbah.

Rasanya kami mulai merasa hidup normal. Istri saya tetap ke pasar tradisional. Dengan prosedur Covid. Pakai masker. Belanjanyi pakai uang pas. Tidak perlu berisiko menerima uang kembalian. Kalau uangnya lebih dia minta barangnya saja yang ditambah. Atau untuk deposito belanja berikutnya.

Awalnya memang kagok, kata istri saya. ”Ke pasar kok seperti musuhan dengan pedagang,” katanyi. Tapi sekarang sudah biasa.

Rasanya, setelah lebaran, kami siap untuk mulai hidup normal --normal baru itu.

Di Tiongkok hidup-normal-baru sudah berjalan normal. Saya hubungi teman-teman saya di sana. Kota-kota besar sudah benar-benar nyaris normal-baru. Semua sudah hidup lagi --kecuali bioskop, panti pijat, dan night club.

Memang tiba-tiba ditemukan penderita baru di Kota Wuhan. Lima orang. Umur di atas 70 tahun. Salah satunya 84 tahun.

Mereka itu saling bertetangga di sebuah perumahan kelas bawah. Salah satunya sering keluar rumah tanpa masker. Tertular oleh orang yang positif tapi seperti tidak sakit.

Camat dan seluruh pejabat di kecamatan itu dipecat. Karena ada warganya yang keluar rumah tanpa masker.

Sejak peristiwa minggu lalu itu tidak ada lagi ditemukan penderita baru di Wuhan. Yang ada di kota dekat perbatasan Rusia. Kota Jilin itu langsung di-lockdown. Yang boleh keluar kota adalah yang sudah dites negatif.

Trend dunia sepertinya memang itu: siap untuk hidup normal lagi --normal baru.

Saya juga mau kembali makan di restoran. Kalau restoran itu menerapkan normal-baru. Misalnya, meja lebih jarang. Mungkin perlu ada meja yang disekat kaca bening dan tipis. Agar kita bisa makan bersama dengan kaca pemisah. Lalu ada sistem suara, yang kalau saya bicara, teman di seberang kaca bisa mendengar. Dan sebaliknya. Kalau yang makan empat orang, ditambah kaca satu lagi melintang.

Empat orang itu bisa makan bersama, saling melihat, saling bicara, tapi terpisah oleh kaca bening nan tipis.

Teknologi bisa mengatasi itu.

Makan bersama secara normal-baru. (Dahlan Iskan)


Sumber: www.disway.id

Berita Terkait