iklan Disway
Disway

Ternyata khotbah di lingkungan kecil lebih menarik. Bisa lebih konkret. Hanya saja sering tidak memuaskan –bagi yang bangga kalau khotbahnya didengarkan ribuan umat.

Sampai saya selesai menceritakan soal tarawih itu khotbah baru berlangsung tiga menit. Maka saya tambah dua menit lagi –untuk membacakan puisi: yang saya tulis malam sebelumnya.

Inilah puisi itu:

Bumi gonjang-gonjang

Bertumbang gelimpangan

Aneh

Langit tersenyum jenaka

Melihat bumi membersihkan dosa

Dengan cleaning service bergaji rendah

Dengan sapu tergerak malas

Langit tiba-tiba murka dalam diam

Petir menyambar-nyambar dengan kelu

Badai badai badai dalam bisu

Bumi menyisakan dosa

Sebintang kali sejuta

Virus mencep kelelahan

Corona geleng kepala

Langit tersenyum kecut

Cleaning service terkulai

Sapu terberai

Bumi gonjang-ganjing

Menatap langit dengan iba

Walillahi alham

Genaplah khotbah itu lima menit. Doa di khotbah keduanya pendek saja.

Kami pun mengakhiri acara hari itu dengan sungkeman. Mula-mula para istri sungkem ke suami mereka. Untuk minta maaf. Lalu cucu-cucu ke kakek-nenek dan ke orang tua mereka.

Lalu gantian.

Para suami sungkem ke para istri. Jelas: para suami pun banyak juga berdosa kepada istri.

Lahir batin.

Skornya menjadi 0-0.

Selesai.

Ups… belum. Anak, menantu dan cucu saya berhambur ke asisten rumah tangga. Merangkul mereka. Lama. Minta maaf ke asisten itu. Terdengar isak sedu.

Selesai. Mata pun pada diusap.

Akhirnya ”soto banjar time”.

Made in istri.

Dengan ketupat made in suami.

Nyaman banar.


Berita Terkait



add images