iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (net)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Memasuki puncak musim kemarau pemerintah diminta untuk mewaspadai stok beras hingga akhir tahun. Musim kemarau dan pandemi COVID-19 dipastikan mempengaruhi sektor pertanian dan perdagangan dunia.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan pemerintah harus bisa memastikan stok beras hingga akhir tahun aman. Menurutnya kebijakan pembatasan akibat pandemi COVID-19 sangat mempengaruhi sektor pertanian dan perdagangan dunia. Terlebih Indonesia memasuki musim kemarau.

Dikatakannya, berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah produksi beras pada semester I tahun 2020 menunjukkan adanya penurunan yakni diperkirakan hanya mencapai 16,8 juta ton. Itu artinya turun 9,7 persen dari periode yang sama tahun lalu.

“Kementerian Pertanian memaksimalkan penghujung musim tanam untuk memanfaatkan musim penghujan yang masih berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini menandakan kondisi iklim yang tak menentu masih menjadi tantangan bagi produksi beras dan komoditas pangan lainnya,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/8).

Disebutkannya, berdasarkan data World Food Programme (WFP) pada 2020, selama musim kemarau biasanya produksi beras hanya menyumbang sekitar 35 persen dari total produksi beras tahunan.

“Meski pasokan lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan domestik pada semester pertama dengan surplus 6,4 juta ton, namun ada kekhawatiran mengenai ketersediaan beras menjelang akhir tahun dan awal tahun depan,” ungkapnya.

Di sisi lain meskipun beras telah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia, impor beras dibatasi oleh 54 hambatan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTM) yang sebagian besar adalah tindakan Sanitary Phytosanitary untuk menjaga kesehatan, keamanan, dan kualitas (61 persen), diikuti oleh Hambatan Teknis Perdagangan (11 persen).

Pembatasan utama perdagangan beras di antara NTM ini dinilai sebagai pembatasan kuantitatif. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan 01/2018, beras hanya dapat diimpor oleh Bulog.

Impor tersebut juga harus menerima otorisasi resmi dari Kementerian Perdagangan yang membutuhkan rapat koordinasi menteri dan diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian yang melibatkan Bulog, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian.

“Keputusan untuk mengimpor beras harus mempertimbangkan stok beras Bulog, perbedaan harga, dan atau produksi beras nasional yang diproyeksikan. Prosesnya sendiri lama. Belum lagi COVID-19 yang menyebabkan kapasitas distribusi dan logistik semakin rendah, dapat membuat pemasukan beras menjadi lebih lama,” katanya.

Dalam upaya untuk menjaga stok beras hingga akhir tahun dan awal tahun depan, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo telah meminta agar lahan pertanian produktif tak dibiarkan menganggur setelah panen.

“Saya meminta kepada para petani agar terus berproduksi, selesai panen maka segerakan tanam. Jangan biarkan lahan menganggur lebih dari satu bulan,” katanya.

Ditegaskannya, seluruh wilayah yang lahan pertaniannya masih produktif di musim kemarau akan difasilitasi alat dan mesin pertanian. Termasuk benih berkualitas dan kredit usaha rakyat (KUR).

“Pompanisasi harus dilaksanakan, apalagi di sekitar lokasi terdapat sumber air yang memadai,” ujar dia.

Di sisi lain, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengajak para petani untuk menyiasati perubahan iklim melalui rekayasa komoditas. Maksudnya, menyesuaikan jenis bibit komoditas, serta pola dan waktu tanamnya dengan kondisi cuaca dan iklim.

“Petani perlu jeli dalam memperhatikan cuaca dan musim. Pilih tanaman yang cocok dengan musim tersebut. Jangan paksakan tanam padi yang membutuhkan banyak air pada saat musim kemarau,” katanya.

Dikatakannya, upaya tersebut harus dilakukan guna mengantisipasi puso atau gagal panen yang berakibat kerugian ekonomi.

Dikatakannya, petani perlu mencari alternatif komoditas setiap kali pergantian musim. Tentunya dengan mempertimbangkan kondisi cuaca dan musim agar diperoleh harga jual yang juga baik.

Dijelaskannya, pihaknya telah menyelenggarakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) agar petani bisa memanfaatkan informasi dan prakiraan cuaca dengan baik. Menurutnya, pranata mangsa yang merupakan sistem penanggalan atau kalender yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian, yang selama ini kerap dijadikan acuan petani seringkali meleset akibat perubahan iklim.

“Pentingnya memahami cuaca dan iklim itu agar para petani dan penyuluh pertanian bisa memilih waktu tanam yang tepat, jenis dan pola tanaman yang seperti apa agar produksi panennya lebih tahan dan lebih tangguh terhadap fenomena cuaca dan iklim yang akhir-akhir ini semakin tidak terduga,” terangnya.

Disebutkannya, informasi terkait prediksi dan prakiraan cuaca serta peringatan dini cuaca ekstrem dapat diterima secara “real time” melalui Aplikasi “Info BMKG”.

Para petani dan penyuluh pertanian, harusnya dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mengantisipasi dan meminimalkan kerugian akibat salah tanam.

Untuk diketahui berdasarkan data BMKG sebagian besar wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. Saat ini, musim kemarau telah terjadi di 69 persen dari 342 daerah Zona Musim (ZOM) di Indonesia.

Adapun musim kemarau telah berdampak menimbulkan potensi kekeringan secara meteorologis pada 31 persen ZOM berdasarkan indikator Hari Tanpa Hujan (HTH) berturut-turut. Deret hari kering bervariasi dalam hitungan hari hingga bulan.

BMKG memprediksi Agustus sebagai puncak musim kemarau bagi sebagian besar wilayah yang telah mengalami kemarau. Sebanyak 65 persen ZOM akan mengalami puncak musim kemarau tersebut yaitu sebagian besar NTT, NTB, Bali, sebagian besar Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, sebagian Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Selatan serta Papua bagian selatan.

Sementara 19 persen ZOM diprediksi mengalami puncak musim kemarau pada September, yaitu meliputi sebagian besar Sumatera bagian tengah, Kalimantan bagian selatan, tengah dan timur, Sulawesi bagian barat dan Maluku.(gw/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images