iklan Menteri Sosial Juliari P Batubara usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020).
Menteri Sosial Juliari P Batubara usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). ( (Dery Ridwansah/ JawaPos.com))

“RUU Perampasan Aset Pidana ini bisa secara formal diundangkan. Hal ini bisa menjadi jawaban rasional bagi masyarakat atas kegeraman mereka terhadap kejahatan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegasnya.

Sebelumnya, Edhy mengatakan siap dihukum mati jika terbukti bersalah.

“Sekali lagi kalau memang saya dianggap salah saya tidak lari dari kesalahan, saya tetap tanggung jawab. Jangankan dihukum mati, lebih dari itupun saya siap yang penting demi masyarakat saya. Saya tidak bicara lantang dengan menutupi kesalahan, saya tidak berlari dari kesalahan yang ada. Silakan proses peradilan berjalan,” katanya di Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/2).

Ia pun mengklaim setiap kebijakan yang diambilnya salah satunya soal perizinan ekspor benur semata-mata hanya untuk kepentingan masyarakat.

“Saya tidak bicara lebih baik atau tidak. Saya ingin menyempurnakan, intinya adalah setiap kebijakan yang saya ambil untuk kepentingan masyarakat. Kalau atas dasar masyarakat itu harus menanggung akibat akhirnya saya di penjara itu sudah risiko bagi saya,” kata Edhy.

Dalam kasus ini KPK menetapkan total tujuh tersangka.

Sebagai penerima suap, yaitu Edhy, Staf Khusus Edhy sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), Staf Khusus Edhy sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Misanta Pribadi (AMP), Amiril Mukminin (AM) selaku sekretaris pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), dan Ainul Faqih (AF) selaku staf istri Edhy.

Sedangkan tersangka pemberi suap, yakni Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito yang saat ini sudah berstatus terdakwa dan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.(gw/fin)


Sumber: www.fajar.co.id

Berita Terkait



add images