iklan Ilustrasi.
Ilustrasi. (Pixabay)

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Bulan Mei 2021 sebesar 103,39 atau naik 0,44 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.

Mengacu pada laporan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada hari Selasa, (2/6), kenaikan NTP Mei 2021 dipengaruhi oleh kenaikan NTP di empat subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan (0,63 persen), subsektor tanaman perkebunan rakyat (1,05 persen), subsektor tanaman peternakan (0,85 persen) dan subsektor perikanan (0,78 persen). Sementara subsektor hortikultura mengalami penurunan (-2,75 persen).

Menanggapi hal tersebut, Agus Ruli Ardiansyah, selaku Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), menyoroti perkembangan NTP di dua subsektor, yakni tanaman pangan dan hortikultura. Kedua subsektor tersebut dinilai belum menunjukkan perkembangan yang positif. Hal ini tercermin dari situasi yang dialami oleh para petani di berbagai wilayah.

“Dari data BPS dapat kita lihat bahwa untuk subsektor tanaman pangan, nilainya masih berada di bawah standar impas (ukuran 100 dalam NTP) yakni di angka 96,85. Tren ini kita amati sudah terjadi dari awal tahun 2021. Untuk subsektor hortikultura, kendati berada tipis di atas standar impas, ini cukup fluktuatif dan trennya menurun dari 2 bulan terakhir,” ujar Agus kepada awak media di Jakarta, Jumat (4/6).

“Situasi ini selaras dengan laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah. Untuk tanaman pangan, khususnya padi, memang terjadi sedikit kenaikan harga. Ini disinyalir akibat masih belum banyaknya wilayah yang panen, mengingat secara perhitungan di pulau Jawa ini masih musim tanam kedua. Hanya saja, berkaca dari carut-marutnya tata kelola pangan di panen yang lalu, kita patut khawatir bahwa harga akan kembali anjlok lagi ke depannya,” paparnya.

Pada subsektor hortikultura, laporan BPS menyebutkan penurunan pada subsektor ini dipengaruhi turunnya indeks harga yang diterima oleh petani (lt) khususnya pada dua kelompok yakni sayur-sayuran (khususnya cabai rawit dan cabai merah) dan tanaman obat (khususnya jahe). Penurunan pada subsektor ini (hortikultura) cukup besar, yakni -2,75 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Agus menjelaskan, snggota SPI yang melakukan budidaya sayur-sayuran, seperti di Kabupaten Bogor dan Sukabumi, menyebutkan harga di tingkat petani rendah dan kurang laku di pasar,” katanya.

“Harga kol yang biasanya Rp3.000 per kg turun drastis menjadi hanya Rp800 per kg, contohnya,” tambahnya lagi.
“Di Wonosono, Jawa Tengah, untuk tanaman cabai hijau besar berada di harga Rp6.000, turun setengah dibandingkan harga normalnya yakni Rp12.000. Untuk tanaman kol atau jenis kubis-kubisan di harga Rp1.000 per kg, dari harga normalnya di kisaran Rp2.000 – Rp3.000 per kg,” lanjutnya.

Oleh karena itu Agus kembali mengingatkan agar pemerintah segera menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

“Berdasarkan fakta yang dialami petani SPI di lapangan, HPP saat ini impas dengan biaya produksi yang dikeluarkan para petani, maka segera harus direvisi, dinaikkan,” katanya.

Untuk jangka panjang, Agus menegaskan pembentukan badan pangan nasional tetap dibutuhkan untuk menangani kompleksnya permasalahan pangan di Indonesia.

“Pembentukan Badan Pangan Nasional penting agar masalah terkait tata kelola pangan di Indonesia ditangani secara holistik. Jangan lupa juga, pembentukan badan ini juga merupakan merupakan amanat dari UU Pangan yang disahkan tahun 2012 lalu, namun sampai saat ini belum kunjung direalisasikan oleh pemerintah,” pungkasnya. (git/fin)


Sumber: www.fin.co.id

Berita Terkait



add images