iklan INT
INT

Pasukan pemberontak memiliki kapasitas dan sumber daya yang sudah terlatih selama bertahun-tahun. Meski bukan lawan seimbang, setidaknya pertahanan mereka kuat. Tapi, itu berbeda dengan unit perlawanan yang ada di desa dan kota-kota. Mereka hanya memiliki senapan pemburu untuk sekali tembak dan senjata buatan seadanya. Beberapa hanya berlatih bertempur seadanya.

Desa Kin Ma di Pauk, Magway, menjadi bukti nyata betapa tidak seimbangnya kekuatan perlawanan penduduk dan kebengisan militer Myanmar. Desa berpenduduk 800 jiwa tersebut kini sebagian besar telah hangus dan rata dengan tanah. Dua lansia tewas terbakar karena tak mampu lari keluar rumah.

Itu bukan kebakaran biasa. Junta militer bentrok dengan penduduk. Desa tersebut akhirnya dibumihanguskan Selasa (15/6). Sistem pelacakan api satelit NASA mencatat, api terbesar terjadi sekitar pukul 21.52 waktu setempat. Keesokan harinya, hanya ada sekitar 30 rumah yang tersisa. Api telah melahap sekitar 200 rumah. Sejak kudeta, ada sekitar 230 ribu penduduk yang meninggalkan rumahnya dan berlindung di hutan.

Junta militer juga menyerang dengan senjata militer berat. Akhir Mei lalu sebuah artileri ditembakkan ke gereja Katolik yang dipakai sebagai selter 300 orang penduduk. Sebanyak 4 penduduk tewas.

Selain itu, junta militer menghalangi akses masuk bantuan kemanusiaan berupa obat, makanan, dan barang lain ke penduduk. Relawan yang membagikan bantuan ditembak mati. Termasuk, penduduk yang keluar dari hutan untuk mengambil bantuan beras dan barang-barang lainnya.

“Myanmar saat ini seperti rumah jagal. Orang dibunuh setiap hari seperti hewan,’’ujar Gue Gue. Dia adalah dokter yang bergabung dengan perlawanan bawah tanah di Yangon.

Pria 29 tahun tersebut menegaskan, rakyat hanya punya dua pilihan, tunduk atau melawan. Bagi dia, perlawanan dengan hanya salam tiga jari seperti di awal aksi tidak akan membuahkan hasil. Karena itulah, mereka memilih angkat senjata. ’’Itu karena kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan dengan cara damai,’’ tegasnya.

Para pekerja media juga ikut melawan lewat tulisan-tulisannya. Nasib mereka pun sama. Tidak peduli jurnalis lokal ataupun internasional. Danny Fenster adalah salah satunya. Redaktur pelaksana di Frontier Myanmar itu ditahan saat akan pulang ke negara asalnya, AS, pada 24 Mei lalu. Dia mendekam di penjara Insein.

Kamis (17/6) Fenster diadili di pengadilan khusus Yangon. Dia didakwa karena menerbitkan atau mengedarkan pernyataan yang menimbulkan ketakutan, berita palsu, dan atau menghasut pegawai pemerintah. Ancaman hukumannya 3 tahun penjara. Pasal 505a KUHP di Myanmar tersebut kini dipakai untuk menjerat puluhan pekerja media. (jpg)


Sumber: www.fajar.co.id

Berita Terkait



add images