Di bawah apartheid, minoritas kulit putih mendominasi politik, bisnis, kepemilikan tanah, dan semua aspek kehidupan sipil, sekaligus menerapkan sistem segregasi dan diskriminasi rasial yang keras yang menganggap ras tersebut “terpisah namun setara.”
Kenyataannya, warga kulit hitam Afrika Selatan yang hidup pada periode tersebut masih ingat perasaan mereka yang terpinggirkan dan seperti warga negara kelas dua di tanah mereka sendiri. Perasaan itu tidak berbeda dengan apa yang dirasakan oleh warga Palestina di wilayah pendudukan.
“Sebagai warga Afrika Selatan kami merasa sangat terhubung dengan perjuangan Palestina,” ujar Thania Petersen, seniman Afrika Selatan yang tinggal di Cape Town.
“Kami memahami dan mengakui apartheid serta kehancuran yang timbul akibat hidup dalam masyarakat pasca-apartheid.”
Sementara itu, meskipun banyak komunitas internasional menjatuhkan sanksi terhadap apartheid Afrika Selatan karena kebijakannya yang semakin tidak populer, Israel terus memasok senjata dan teknologi kepada pemerintah minoritas kulit putih.
Selama bertahun-tahun, ANC dan PLO saling mendukung kampanye anti-kolonial, saling bertukar senjata dan berkonsultasi mengenai strategi untuk mengakhiri penjajahan.
Momen penting yang memperkuat hubungan dan komitmen Afrika Selatan terhadap Palestina adalah ketika Arafat bertemu Mandela di Zambia pada tahun 1990, hanya dua minggu setelah Mandela dibebaskan dari penjara.
Mandela kemudian mengunjungi Israel dan Palestina dan menyerukan perdamaian antara kedua negara.
Afrika Selatan adalah salah satu dari segelintir negara yang memiliki hubungan diplomatik formal dengan Hamas, sebuah kelompok yang oleh banyak negara dianggap sebagai organisasi teroris. (*)
Sumber: tempo.co