Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh memiliki efek jangka panjang, termasuk kerusakan hati, sistem saraf, dan bahkan kanker. Penggunaan air ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga menciptakan beban kesehatan publik yang besar dan tak terhitung secara fiskal. Air, yang semestinya menjadi simbol kehidupan, diubah menjadi sumber penyakit. Ini adalah ironi dari pembangunan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian ekologis.
*Fragmentasi Ekosistem dan Ancaman Kepunahan*Kerusakan bentang alam akibat tambang juga berdampak langsung terhadap keanekaragaman hayati Jambi. Hutan tropis dataran rendah, yang merupakan habitat sejumlah spesies endemik seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu, serta primata arboreal, mengalami penyusutan dan isolasi ekologis.
Menurut laporan WWF dan KKI Warsi (2023), fragmentasi habitat akibat jaringan tambang dan infrastruktur penunjang telah mengurangi indeks keanekaragaman hayati sebesar 60% di zona terdampak tambang. Satwa besar kehilangan jalur jelajah, konflik satwa-manusia meningkat, dan siklus reproduksi satwa terganggu karena tekanan spasial dan suara mesin berat.
Lebih dari sekadar kehilangan satwa, kondisi ini mencerminkan melemahnya sistem penyangga kehidupan. Hilangnya biodiversitas mempercepat kerusakan rantai makanan, memperparah perubahan iklim lokal, dan menurunkan produktivitas tanah—yang pada akhirnya memperbesar beban masyarakat.
Dimensi Ekologi Sosial Masyarakat yang Terpinggirkan
Kehilangan Akses dan Hak atas Ruang Hidup
Pertambangan batu bara tidak hanya mengubah bentang alam, tetapi juga meminggirkan manusia dari ruang hidupnya. Masyarakat adat di Kabupaten Batanghari dan Tebo, yang hidup secara turun-temurun dari hasil hutan, kini kehilangan akses terhadap sumber pangan, air, dan obat tradisional.
Izin tambang diterbitkan tanpa partisipasi masyarakat, dan warga yang mempertahankan hak atas tanahnya kerap diintimidasi atau dikriminalisasi. Komnas HAM (2022) mencatat bahwa lebih dari 29 konflik lahan aktif terjadi di wilayah pertambangan Jambi, sebagian besar melibatkan komunitas adat dan perempuan tani. Konflik-konflik ini tidak hanya merampas hak atas tanah, tetapi juga merusak tatanan sosial. Fragmentasi komunitas, kriminalisasi aktivis lingkungan, serta kekerasan terhadap perempuan—khususnya yang berada di garis depan perjuangan agraria—menjadi kenyataan sehari-hari yang acap luput dari pemberitaan.
Ketimpangan Ekonomi dan Kemiskinan Struktural
