iklan Ekonomi Batu Bara, Ekologi Yang Mebara
Ekonomi Batu Bara, Ekologi Yang Mebara

Sektor tambang sering dijustifikasi dengan dalih kontribusi ekonomi. Namun pada praktiknya, keuntungan besar justru dinikmati oleh korporasi skala nasional dan transnasional. Sementara masyarakat lokal—yang paling terdampak langsung—sering hanya mendapat peran marjinal sebagai buruh kasar, penjaga pos, atau penerima kompensasi sesaat.

Laporan UNDP (2019) menyebutkan bahwa di sebagian besar wilayah tambang di Indonesia, kurang dari 15% nilai ekonomi pertambangan kembali ke masyarakat lokal dalam bentuk layanan publik atau distribusi pendapatan. Sisanya mengalir ke pusat kekuasaan ekonomi dan politik, baik di tingkat provinsi maupun nasional.

Model ini menciptakan kemiskinan struktural—yakni kondisi di mana masyarakat dipaksa bergantung pada tambang yang justru merampas ruang hidup mereka. Ketika tambang tutup atau harga batu bara anjlok, mereka kehilangan segalanya: pekerjaan, lingkungan,kesehatan dan masa depan.

Kontradiksi Ekonomi: Pertumbuhan yang Menyakitkan

Secara makro, sektor pertambangan menyumbang 17,6% terhadap PDRB Jambi (BPS Provinsi Jambi, 2024). Di balik pertumbuhan itu, tersembunyi biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung: perbaikan infrastruktur akibat kerusakan truk tambang, subsidi kesehatan untuk warga terdampak, dan hilangnya jasa ekosistem seperti air bersih, udara sehat, dan pangan lokal.

Bank Dunia (2020) mencatat bahwa di negara berkembang seperti Indonesia, setiap USD 1 keuntungan dari pertambangan diimbangi oleh USD 1,5 kerusakan ekologis dan sosial. Jika dikalkulasi secara menyeluruh—biaya kesehatan akibat air tercemar, penurunan produktivitas lahan, konflik agraria, dan kerugian biodiversitas—maka tambang justru menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak tampak di atas kertas. Artinya: kita rugi lebih banyak daripada yang kita dapat.

Dari sisi ekonomi mikro, sebagian masyarakat memang memperoleh penghasilan tambahan dari pekerjaan di sektor tambang. Namun sifatnya temporer, tidak berkelanjutan, dan sering kali disertai dengan risiko tinggi terhadap keselamatan kerja dan kesehatan lingkungan.

Saatnya Jambi Membalik Haluan Sebelum Alam Menutup Buku Kita

Provinsi Jambi kini berdiri di ambang pilihan: meneruskan jalan ekstraktif yang mengeruk bumi hingga hancur, atau mulai berbelok ke arah pembangunan yang lestari, adil, dan beradab. Jalan pendiriannya telah tegas: moratorium pemberian IUP baru, pelaksanaan reklamasi pasca-tambang secara total, dan audit independen atas izin tambang yang telah melemahkan etika ekologis.

Perubahan ini bukan soal mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan tentang menyelamatkan integritas lanskap, dan memberi ruang hidup bagi generasi yang akan datang. Biarkan masyarakat menjadi pengawal ruang hidupnya sendiri—bukan sekadar penerima sisa laba.Karena pembangunan sejati bukanlah diukur dari seberapa dalam kita menambang, melainkan seberapa lama bumi tetap mampu memberi kehidupan.

Dan jika kita terus mendiamkan luka-luka ekologis ini, alam mungkin akan memutuskan untuk diam selamanya—seperti tetesan air yang menunggu berita untuk disampaikan. Pesan Ebiet G. Ade dalam bait lagunya yg penuh makna :“Mungkin Tuhan mulai bosanmelihat tingkah kitayang selalu salah dan banggadengan dosa dosaatau alam mulai engganbersahabat dengan kitacoba kita bertanya padarumput yang bergoyang”

Sebelum rumput kehilangan bisik angin, dan sebelum langit yang terluka membungkam, masih ada jeda yang tersisa—waktu yang rapuh namun cukup—untuk berbelok dari jalan yang salah menuju jalan yang arif dan manusiawi. Mari kita maknai kembali pembangunan, bukan sebagai ritual penjarahan atas tubuh bumi, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak generasi mendatang—untuk hidup di dunia layak dihuni, adil dalam berbagi sumber daya, dan bermartabat dalam menjaga keseimbangan semesta. (MT) *) Pengamat Kebijakan Pembangunan Daerah, Infrastruktur, Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.

Referensi:1. Walhi Jambi. (2025). Laporan Investigasi Dampak Tambang Batu Bara.2. Forman, R.T.T., & Godron, M. (1986). Landscape Ecology. Wiley.3. LIPI. (2021). Kajian Kimia dan Ekotoksikologi Air GABT di Sumatera.4. Komnas HAM & JATAM. (2022). Potret Kekerasan dan Konflik Agraria di Wilayah Tambang.5. WWF & KKI Warsi. (2023). *Kehilangan Keanekaragaman Hayati di Kawasan


Berita Terkait



add images