Jika kondisi ini diproyeksikan hingga dua puluh tahun ke depan tanpa perubahan kebijakan yang bersifat struktural, maka arah ekonomi Jambi dapat dipastikan: tumbuh, tetapi tertahan. Pertumbuhan ekonomi akan tetap terjadi karena eksploitasi sumber daya alam dan konsumsi domestik, namun tidak akan mengalami lompatan. Pada saat yang sama, provinsi tetangga yang memiliki pelabuhan, kawasan industri, dan kebijakan hilirisasi akan melaju lebih cepat, memperlebar kesenjangan PDRB dan PDRB per kapita.
Dalam kerangka daya saing regional, Jambi akan terus berada di ujung rantai nilai, menerima bagian nilai tambah paling kecil dari aktivitas ekonomi yang sebenarnya bernilai tinggi. Implikasi dari skenario ini bersifat serius dan jangka panjang. Bonus demografi Jambi berisiko tidak termanfaatkan karena lapangan kerja yang tersedia didominasi sektor berproduktivitas rendah, sementara tenaga kerja terdidik bermigrasi ke daerah lain.
Secara fiskal, ketergantungan pada komoditas membuat pendapatan daerah rentan terhadap fluktuasi harga global dan membatasi kapasitas pembangunan jangka panjang. Secara sosial, ketimpangan wilayah dan ketimpangan pendapatan berpotensi menjadi sumber tekanan yang berkelanjutan.
Artinyanya, selama Jambi tidak memiliki pelabuhan samudera dan kawasan industri hilir, selama itu pula Jambi akan tetap berada dalam peran struktural sebagai daerah hinterland.
Dalam ekonomi wilayah, hinterland adalah daerah penyangga yang berfungsi memasok bahan mentah, energi, lahan, dan tenaga kerja bagi pusat pertumbuhan di luar wilayahnya. Daerah hinterland bukan pusat industri, bukan simpul logistik, dan tidak mengendalikan rantai pasok maupun harga.
Jika Jambi berada pada posisi hinterland, artinya Jambi memproduksi, tetapi daerah lain yang menikmati nilai tambahnya. Komoditas keluar dalam bentuk mentah, diolah dan diekspor melalui provinsi lain. Lapangan kerja industri, aktivitas logistik, jasa keuangan, dan keuntungan terbesar tumbuh di luar Jambi, sementara Jambi hanya memperoleh nilai paling kecil di hulu.
Posisi ini membuat daya tawar lemah, lapangan kerja tetap berproduktivitas rendah, dan bonus demografi tidak termanfaatkan.
Ekonomi bergerak karena sumber daya dieksploitasi, tetapi kesejahteraan naik lambat. Selama Jambi tidak memiliki pelabuhan samudera dan kawasan industri hilir, peran ini akan bertahan, bukan karena kekurangan potensi, melainkan karena struktur pembangunan yang menempatkan Jambi sebagai daerah belakang, bukan pusat ekonomi.
Kesimpulannya, dalan ekonomi wilayah posisi menentukan nasib. Tanpa lompatan infrastruktur strategis dan industrialisasi, masa depan ekonomi Jambi bukanlah masa depan yang runtuh, tetapi masa depan yang dibatasi, tumbuh tanpa pernah benar-benar meloncat.(*)
