iklan
Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa obat yang dipasarkan memiliki ketentuan harga tertinggi dalam kemasannya. Mereka juga tidak sadar bahwa harga obat telah di-markup apoteker untuk meraup keuntungan lebih.

IKATAN Apoteker Indonesia (IAI) menyebutkan, harga jual obat-obatan di apotek sudah digelembungkan atau di-markup. Tidak tanggung-tanggung, IAI menengarai, penggelembungan harga tersebut mencapai 37 persen dari harga neto yang dikeluarkan pabrik.

Menurut Presiden IAI Dani Pratomo, kondisi terebut akhirnya membuat apotek tidak lagi menjalankan fungsi utamanya, yakni kefarmasian alias menyediakan produk-produk farmasi, tetapi lebih dominan pada fungsi jual beli. Akibat kejadian tersebut, kata dia, konsumen sangat dirugikan. "Penggelembungan harga obat dari neto apotek ke harga jual konsumen umum mencapai 37,5 persen," ungkapnya.

Misalnya, dari paket obat seharga Rp 1 juta, dengan markup tersebut, setidaknya mereka akan mendapat keuntungan Rp 375 ribu. Dari keuntungan atas penggelembungan tersebut, ternyata apotek juga masih bisa mendapat keuntungan lebih saat mendapat diskon dari produsen untuk harga neto apotek.

Dani mencontohkan, untuk obat A, apotek seharusnya membeli dengan harga Rp 100 ribu dari produsen. Tetapi, karena persaingan bisnis obat, biasanya apotek akan mendapat diskon dari produsen. Akhirnya, apotek hanya dikenai harga sekitar Rp 75 ribu. Meski demikian, banyak apotek nakal yang tidak juga menurunkan harga obat yang mereka jual. Mereka tetap menjual dengan harga awal ditambah markup.

Dia memberikan sedikit gambaran mengenai perjalanan penetapan harga obat mulai produsen hingga sampai di tangan konsumen. Pertama, pabrik menetapkan harga neto pabrik untuk harga produksinya. Kemudian, dari harga tersebut, ditentukanlah harga neto untuk apotek. Setelah sampai di tangan para apoteker itulah harga obat mulai dimainkan.

"Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di apotek-apotek umum, melainkan juga apotek milik rumah sakit," tuturnya.

Karena itu, Dani meminta pemerintah bisa menjalankan regulasi yang sehat dan ketat untuk penjualan obat di apotek. Menurut dia, apotek idealnya menjual obat ke masyarakat sesuai dengan harga neto apotek. Tidak malah di-markup setinggi-tingginya.

Kendati demikian, Dani juga tidak ingin para apoteker tidak mendapat keuntungan. Dia menyarankan para apoteker dibolehkan menarik jasa kefarmasian mereka dari para pembeli obat. Menurut dia, jasa kefarmasian yang pas adalah Rp 20 ribu"Rp 30 ribu per transaksi obat-obatan.

Menanggapi hal tersebut, Kementerian Kesehatan yang diwakili Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron menyatakan, upaya menaikkan harga dari pembelian di pabrik farmasi tersebut sebenarnya sah-sah saja. Asalkan, harga yang dikeluarkan apotek tidak melebih harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

"Sebenarnya tidak masalah, asalkan tidak melebihi ketentuan. Kalau tidak dinaikkan, mereka dapat untung dari mana?" ujarnya.

Lebih jauh, Direktur Jenderal Binfar Kemenkes Linda Situmorang menjelaskan, konsep penetapan harga tersebut berdasar rekomendasi (dan evaluasi harga) Tim Harga Obat Generik, bukan persentase harga beli. HET merupakan harga tertinggi terakhir sesudah biaya-biaya lain seperti biaya distribusi dan pajak.

HET tersebut menjadi patokan harga maksimum yang bisa dikeluarkan apotek untuk suatu obat. Para produsen pun dilarang menetapkan harga neto apotek, yang harus ditebus apoteker, melebihi 74 persen dari HET. "HET ini sengaja ditetapkan sebagai salah satu cara pemerintah untuk mengendalikan harga obat, khususnya jenis obat generik yang beredar di masyarakat," jelasnya.

Untuk obat selain generik, HET ditentukan produsen dan tetap harus dicantumkan dalam kemasan. Dengan demikian, diharapkan harga transparan dan bisa dibaca masyarakat.

Masalahnya, banyak warga yang tidak mengetahui adanya HET yang tercantum di kemasan obat. HET obat, baik generik maupun selain generik, tercantum dalam kemasan obat hingga kemasan terkecilnya. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mulai sadar saat membeli obat agar tidak tertipu.

Sayangnya, masyarakat juga tidak berbuat apa-apa saat apotek memberikan harga lebih tinggi. Mereka hanya bisa menerima harga yang diberikan karena butuh.

Dalam aturan, harga obat itu secara langsung diawasi Kemenkes, dinas kesehatan provinsi, dan kepala dinas kota/kabupaten. Namun, hal itu belum optimal. Masih banyak terjadi penggelembungan harga. Sanksi pun masih tidak jelas.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pun hanya memberikan keterangan bahwa apotek nakal akan diberi sanksi oleh dinas kesehatan setempat tanpa penjabaran secara detail.

Begitupun dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 092 Tahun 2012. Di situ hanya dijelaskan penetapan harga yang tidak boleh melampaui HET. Tidak ada penjelasan sanksi jika melanggar.

Linda menjelaskan, menghadapi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dimulai 1 Januari 2014, akan ada kendali mutu dan kendali biaya terhadap obat dalam jaminan kesehatan nasional (JKN). Pemerintah bakal menetapkan jenis dan harga obat. Jenis obat dalam JKN tercantum dalam Formularium Nasional, sedangkan harga obat melalui sistem e-katalog obat.

Dengan demikian, ketersediaan dan keterjangkuan harga obat dapat dijamin. Mutu dan efektivitas pelayanan kesehatan kepada pasien pun bisa terjamin.

sumber: je

Berita Terkait