iklan Presiden Jokowi bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya dalam kegiatan Perhutanan Sosial
Presiden Jokowi bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya dalam kegiatan Perhutanan Sosial

JAMBIUPDATE.CO, JAMBI Pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan 12,7 juta hektar Perhutanan Sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Adat) di seluruh Indonesia pada 2019.

Diharapkan dengan program Perhutanan Sosial, kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan bisa meningkat sehingga aktivitas penebangan hutan secara illegal makin berkurang.

Khusus di Provinsi Jambi, luas lahan Perhutanan Sosial yang telah terealisasi sekitar 141 ribu hektar dengan 330 izin.

Itu yang kami pantau sekitar awal Agustus, lepas Agustus mungkin sudah ada izin yang keluar namun belum sampai ke kita, kata Plt Kadis Kehutanan Provinsi Jambi Yazil Pantra melalui Kabid Penyuluhan Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat (PPMHA) Gushendra.

Ia mengatakan sebaran Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi ada di seluruh kabupaten, di seluruh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Jambi, bentuk Perhutanan Sosialnya bervariasi. Ada Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa dan Hutan Adat.

Di 2018 ini justru yang banyak keluar izin Perhutanan Sosialnya yaitu HKm dan HTR, katanya.

Sedangkan untuk Hutan Adat dari tahun 2017 sudah ada 15 izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, terakhir tahun 2018 ada 9 izin Hutan Adat yang dikeluarkan, enam di Sarolangun, satu di Kerinci dan dua di Bungo.

Yang kemaren diundang ke Istana Negara dan diserahkan oleh Presiden Joko Widodo, berkenaan dengan pengesahan Hutan Adat, kata Gushendra, 

Hanya saja dalam perkembangannya, Hutan Adat ada juga yang berada di dalam kawasan dan di luar kawasan, yang di luar kawasan ada 15 titik di Provinsi Jambi yang sudah dikeluarkan izinnya, sedangkan yang di dalam kawasan belum mendapat izin karena perlu dukungan dari Pemerintah Kabupaten.

Dalam regulasi UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa untuk Hutan Adat harus ada pengesahan masyarakat hukum adatnya, Kepala Daerah dan DPRD dalam bentuk Perda, katanya.

Kemudian perkembangan Perhutanan Sosial cukup pesat di Jambi, target luasan Perhutanan Sosial di Jambi sekitar 368 ribu hektar dalam lima tahun, mulai dari tahun 2017 hingga 2022.

Dalam dua tahun ini Perhutanan Sosial di Jambi sudah sekitar 141 ribu hektar, jika dilihat dari rencana kerja sudah cukup lumayan lah, kata Gushendra.

Persoalannya, karena Perhutanan Sosial ini juga merupakan program baru, artinya belum bisa dilihat sejauh mana perkembangan yang ada di masyarakat, belum terlihat dampak terhadap kelompok masyarakat yang mengantongi legalitas Perhutanan Sosial.

Yang jelas saat ini masyarakat merasa nyaman, bahwa dengan adanya Perhutanan Sosial, mereka bisa mengelola hutan yang selama ini mereka kelola tanpa ada lagi gangguan, karena secara aspek legal sudah diakui pemerintah, kata Gushendra.

Kita juga punya PR lanjutan, di antaranya konsentrasi kita pengembangan pemberdayaannya pasca izin dikeluarkan, ini sangat perlu. Tapi memang bidang kita ini juga baru. KPHP kita juga selaku pengawasan kita di tingkat tapak juga baru didefenitifkan pada 20 Februari lalu, katanya lagi.

Terkait dampak terhadap masyarakat dengan adanya program Perhutanan Sosial dalam satu tahun terakhir, Gushendra mengatakan dari beberapa skema yang ada memang ada yang berdampak langsung terhadap masyarakat. 

Seperti Hutan Adat di pinggir kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di daerah Jangkat Merangin, masyarakat bisa memprotect dari aktivitas perambahan hutan, karena mereka merasa memiliki legalitas dari Pemerintah Pusat.

Yang lain begitu juga, seperti Hutan Desa di Bungo mereka juga bisa melakukan proteksi dari aktivitas pembalakan. Sedangkan di HTR, person atau perseorangan memang hanya bekerja di lahan yang telah mendapatkan izin untuk dikelola, kosekuensinya mereka tidak mau juga menambah luasan areal dengan cara ilegal, aspek legalnya hanya 2 hektar ya hanya segitu yang mereka kelola tidak merambah lagi ke yang lain, katanya.

Dampak positif lainnya dengan adanya Perhutanan Sosial, masyarakat juga menjadi tahu jika selama ini ternyata mereka telah bekerja di daerah kawasan. 

Dengan adanya aspek legal yang dikeluarkan, mereka menjadi mengerti dan mengakui jika di sekitar lahan yang selama ini mereka kelola ada areal kawasan hutan yang harus dijaga dan dilindungi yang merupakan milik Negara.

Selama ini masyarakat kan tidak tahu, mereka bekerja-bekerja, ternyata di dalam kawasan, katanya.

Disinggung soal berapa banyak izin yang diajukan masyarakat sejak program Perhutanan Sosial digulirkan, Gushendra mengatakan jika sejak diterbitkannya P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, proses pengajuan tidak lagi melalui Dinas Kehutanan tapi langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) yang akan melakukan evaluasi, lalu turun ke Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) dan diteruskan ke daerah melalui Kelompok Kerja (Pokja) untuk melakukan verifikasi.

Kalau diajukan berapa banyaknya segala macam, kita sendiri tidak terpantau, makanya bahasa saya awal tadi, luasan 141 ribu hektar itu yang ada datanya di kita. Karena apa? karena turunnya (SK izin) juga tidak melalui kita (Dishut). Termasuk usulannya, karena usulannya bisa online, fungsi dinas hanya mediasi, kata Gushendra.

Jikapun nanti ada verifikasi atau assessment, fungsi kita hanya di situ, sebab kita hanya sebagai Pokja Perhutanan Sosial. Itu posisinya, posisi kita sama seperti NGO ataupun LSM Lingkungan yang melakukan verifikasi yang merupakan bagian dari Pokja, katanya lagi.

Kembali soal perkembangan pemanfaatan Perhutanan Sosial di lapangan yang telah memiliki legalitas, menurut Gushendra karena program ini baru sehingga masyarakat atau kelompok baru sebatas euforia dengan aspek legal yang mereka dapatkan.

Apa berikutnya belum tahu, karena mereka kan sebelumnya sudah lama bertani di situ, bercocok tanam di situ. Kita juga melalui KPHP ataupun penyuluh belum bisa melakukan pembinaan apa-apa, ya perkembangannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Mereka baru sebatas merasa aman dan nyaman karena telah memiliki legalitas pengelolaan, katanya.

Namun Gushendra tak menampik untuk berikutnya pengelolaan Perhutanan Sosial yang telah memiliki legalitas merupakan tanggung jawab Dinas Kehutanan, untuk melakukan pembinaan.

Melalui KPHP dan Penyuluh kita juga akan melakukan evaluasi, kalau tidak salah evaluasi dilakukan dalam lima tahun sekali. Jadi ini belum tahap evaluasi tapi baru tahap administrasi dan perencanaan, katanya.

Dijelaskannya, jika masyarakat yang mengantongi izin Perhutanan Sosial memiliki kewajiban membuat Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

RKU dan RKT ini, katanya, baru disusun oleh masyarakat pemegang legalitas Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi.

Sekarang sudah ada beberapa yang sedang kita lakukan pembahasan, nanti setelah ada itu (RKU dan RKT) baru mereka bisa bekerja, kalau sekarang mereka melakukan aktivitas seperti biasa, katanya.

Soal pemilihan tanaman yang akan dikelola masyarakat di Perhutanan Sosial, Gushendra mengatakan disesuaikan dengan karakter tanah di kawasan tersebut. Seperti di Kerinci yang cocok dengan kopi dan kulit kayu manis. Merangin yang juga cocok dengan kopi. Namun untuk di daerah seperti Sarolangun terutama Mandiangin, karakter tanahnya cocok dengan karet dan sawit.

Jadi tergantung tanahnya, tapi pembinaan oleh KPHP dan Penyuluh tetap dilakukan, lokasinya juga bukan lokasi yang baru dibuka, tapi lokasi yang sudah mereka kerjakan, justru kalau lahan yang baru dibuka justru tidak boleh, karena Perhutanan Sosial ini bahasanya kan keterlanjuran. Keterlanjuran pengelolaan lahan di kawasan, katanya.

Dengan adanya Perhutanan Sosial ini, kosentrasi Dishut dalam melakukan pengawasan dan pembinaan bisa full (optimal).

Dengan mengantongi izin, plusnya mereka dapat pembinaan dari kita, artinya bisa kita arahkan di RKU dan RKT nya. Bisa tanam kopi, jahe atau nilam yang mempunyai potensi pemasaran, kata Gushendra.

Dengan adanya Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa) 2018 di Jambi, Gushendra berharap mengingat Festival PeSoNa merupakan kegiatan yang bersifat ruang publik, masyarakat Jambi bisa jadi mengetahui jika dengan adanya Perhutanan Sosial ada lahan yang bisa dipakai/diolah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kita harapkan dengan memanfaatkan produk hasil Perhutanan Sosial, kehidupan petani di sekitar kawasan kesejahteraannya meningkat, sumber pendapatan perekonomiannya meningkat. Nah dengan sumber perkenomian meningkat, kita tentu berharap aktivitas penebangan hutan menjadi berkurang, itu harapannya, katanya.

Kita juga tahu pekerjaan dari Dinas Kehutanan atau KPHP sendiri menjadi tepat sasaran, katanya lagi.

Yang lain, ia juga mengharapkan dengan adanya Festival PeSoNa ini Kementerian dan Kepala Daerah total mendukung program Perhutanan Sosial, harus disadari jika selama ini masyarakat di kawasan hutan selama ini merasa dikejar-dikejar oleh aparat hukum.

Nah dengan adanya aspek legal Perhutanan Sosial, masyarakat tidak perlu lagi dikejar-kejar, tapi diberi pembinaan. Bahkan jika mereka kekurangan anggaran kita bisa memfasilitasi untuk peningkatkan SDM maupun cara pengolahan tanaman dan semacamnya, katanya.

Melalui Festival PeSoNa 2018, juga ada respon positif dari masyarakat dan pengusaha terhadap hasil produk Perhutanan Sosial yang dikelola masyarakat di sekitar kawasan hutan.

Pemerintah mulai dari Pusat, Provinsi hingga Kabupaten harus tanggap dengan program ini. Apalagi jika dalam festival nanti ada keterlibatan pengusaha, jadi ini sangat membantu sebab persoalan pemasaran juga menjadi masalah bagi masyarakat yang menghasilkan produk dari pengelolaan Perhutanan Sosial, kata Gushendra. 

Untuk diketahui, Provinsi Jambi dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan Festival PeSoNa 2018, event nasional ini akan berlangsung 29 November hingga 1 Desember 2018 di Ratu Convention Center (RCC), Kota Jambi.

Dengan konsep Pesta Rakyat, Festival PeSoNa 2018 mengangkat tema Kita Kelola Kita Sejahtera. Event ini hasil kerjasama Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Jerman dan KFW Develpoment Bank. 

Festival PeSoNa 2018 di Provinsi Jambi sebagai estafet dengan menjadikan tradisi festival sebagai ajang memfasilitasi Forum Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa) Regional Sumatera, Festival PeSoNa 2018 di Provinsi Jambi merupakan ajang pertemuan antar stakeholder (Kementerian/Lembaga, NGO/LSM, Dunia Usaha, Pokja Percepatan Perhutanan Sosial, Kelompok Tani/Masyarakat).

Festival PeSoNa 2018 di Provinsi Jambi merupakan rentetan kegiatan yang juga sekaligus untuk mempromosikan hasil usaha dari Perhutanan Sosial, festival ini juga merupakan ajang edukasi bagi kelompok-kelompok tani untuk memahami rantai pasar terhadap produk-produk dari Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar kawasan hutan. (ist)


Berita Terkait



add images