iklan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberikan pandangan terkait poin-poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terus menjadi perdebatan, di gedung KPK, kemarin (24/9).
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif memberikan pandangan terkait poin-poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terus menjadi perdebatan, di gedung KPK, kemarin (24/9). (RIZKI AGUSTIAN/FIN )

JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA – Poin-poin dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terus menjadi perdebatan. Kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur dalam revisi dinilai dapat memberikan kepastian hukum, termasuk kepada para investor.

Namun, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif justru khawatir kewenangan tersebut disalahgunakan oleh oknum-oknum. Hal ini lantaran, kata dia, SP3 kerap dijadikan bahan tawar menawar kasus.

“Karena memang sejarahnya di tempat lain SP3 ini banyak dijadikan sebagai bahan tawar menawar,” ujar Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, kemarin (24/9).

Laode menyatakan, kekhawatirannya bukan berarti menolak kewenangan yang diberikan mengingat komisi antirasuah merupakan pengemban mandat undang-undang. “Tapi sebenarnya menolak, jangan sampai. Menjaga jangan sampai ini di-abuse juga di KPK,” tandasnya.

Alasan pemberian kewenangan penerbitan SP3 didasarkan pada kasus-kasus besar yang mandek ketika ditangani KPK. Terkait hal ini, Laode membenarkan. Namun, ia menyebut, kasus mandek yang dimaksud hanya satu. Ia menegaskan, jangan digeneralisir ke kasus-kasus lain.

“(Kasus) yang berlama-lama itu berapa sih jumlahnya? Paling cuma satu. Lama itu karena pihak luar negeri tidak memberikan informasi yang cukup. Jadi jangan satu kasus itu digeneralisir ke seluruh kasus di KPK,” tukasnya.


Berita Terkait



add images