“Itu hasil perminggu, kalau sebulan angkanya mencapai Rp2 miliar lebih. Jadi kalau ada koperasi yang wakaf dan zakatnya tidak jalan, itu bukan pengurus, itu penguras,” tandasnya. Bentuk inilah yang ingin ditunjukkan Kopsyah BMI bahwa zakat, infaq, wakaf dan shadaqah (Ziswaf) sebagai instrumen Islam yang harus diperjuangkan untuk kepentingan umat.
POTENSI WAKAF TUNAI Rp 77 TRILIUN
Merujuk pada pengelolaan wakaf, Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI) Iwan Agustiawan Fuad menerangkan, pengelolaan wakaf Indonesia masih ketinggalan 10 tahun merujuk pada kajian Islamic Develompent Bank. Setelah melakukan peningkatan kompetensi pada nazir (pengumpul wakaf) terlihat ada kenaikan jumlahnya.
Di tahun 2015-2018, wakaf uang yang terkumpul mencapai Rp255 miliar. Menurut Iwan, jumlah tersebut masih sangat kecil sekali. “Namun kita masih terus bergerak, tahun 2019 kita berhasil menghimpun Rp55 miliar, tahun ini juga sedang kita sedang mengupayakan Rp55 miliar, asumsi kita bisa menghimpun Rp1 triliun,” paparnya.
Iwan mengaku, potensi wakaf uang Indonesia sangat besar yakni mencapai Rp77 triliun. Sementara, wakaf aset tanah mencapai Rp2.050 triliun. Masalahnya, aset wakaf banyak yang belum terkelola karena kemampuan nazir yang terbatas dalam mengelola aset properti. Menariknya, pertumbuhan zakat dan wakaf terus membiru.
Penerimaan zakat terus naik mencapai Rp40 triliun (21,1 persen), sementara wakaf uang melambung ke angka 30.1 persen. “Ini juga menarik untuk kita lihat sebagai potensi menarik untuk menghimpun zakat dan wakaf yang lebih optimal,” terangnya.
Melihat potensi itu, sambung Iwan, pengelolaan wakaf menjadi solusi terbaik dalam proses memerangi Covid-19. Seperti bantuan langsung, alat kesehatan, pembersihan sanitasi, hingga pendirian rumah sakit berbasis wakaf.
“Dana recovery ekonomi Indonesia pasca Covid-19 bisa dari dana wakaf yang kita kumpulkan. Jadi bisa disimpulkan bahwa wakaf menjadi kekuatan ekonomi berjamaah di Indonesia,” tambahnya.
WAKAF PENOPANG EKONOMI UMAT
Komisioner BWI lainnya, Hendri Tanjung mendorong agar pengelolaan wakaf di negeri ini dapat dimaksimalkan. Dengan pengelolaan yang lebih baik, menurutnya hal tersebut bisa membuat menopang perekonomian masyarakat agar lebih baik.
“Bila masyarakat Indonesia memiliki kesadaran untuk wakaf dan pengelolaannya baik, maka kemiskinan di sini dapat dientaskan,” paparnya dalam diskusi virtual tersebut.
Dijelaskannya, pada adab kedua Hijriah, umat Islam mulai mengenal wakaf tunai atau wakaf uang. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits yang memfatwakan bolehnya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. “Investasinya memang benar-benar riil. Dinar adalah emas dan dirham adalah perak,” jelas Dewan Syariah Kopsyah BMI tersebut.
Pada zaman keemasan Islam, wakaf tak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, mengaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. “Dengan pengelolaan yang optimal maka penggunaan sistem wakaf ini bisa untuk menyekolahkan orang-orang tak mampu,” tandasnya. (fin/tgr)
Sumber: www.fin.co.id
