iklan

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi.

Hutan dan gambut di Jambi semakin rentan dan rutin terbakar. Deforestasi dan eksploitasi besar-besaran lewat izin konsesi membuat ekosistem gambut rapuh dan tertekan. Padahal, hutan dan lahan gambut bukan hanya sebagai penyerap karbon tetapi juga pondasi untuk menjaga keamanan pangan.

Tahun 2015 menjadi satu masa terburuk saat hutan dan lahan di Jambi terbakar hebat. Negara harus menanggung kerugian hingga triliunan rupiah akibat ekonomi lumpuh, dan kerusakan lingkungan. Belum lagi, 100 ribu lebih penduduk menderita akibat serangan ISPA.

Tetapi pengalaman buruk itu justru terus berulang. Setelah 2015, hampir setiap tahun kebakaran rutin terjadi. Bahkan tahun 2019 seakan mengulang kejadian buruk empat tahun sebelumnya. Karhutla menjadi momok menakutkan yang terus meneror setiap kali kemarau datang.

Lalu, sampai kapan ini akan terus terjadi?

Provinsi Jambi baru saja memiliki pemimpin baru. Masalah karhutla masih menjadi persoalan generasi ke gerasi yang belum terselesaikan hingga sekarang. 

Selama ini pemerintah Jambi selalu memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan peningkatan ekonomi. Padahal semua tahu, karhutla dapat memicu dampak buruk yang serius bagi ekonomi dan kesehatan, bahkan mengancam nyawa masyarakat.

Tentu kita semua masih ingat bagaimana bencana kabut asap akibat kebakaran 2019 itu membuat empat warga Jambi meninggal dunia.  Mereka meninggal saat berupaya memadamkan api, sebagian karena tak mampu bertahan dari buruknya kualitas udara.

Agustus 2019, Asmara anggota Manggala Agni Daops Muara Bulian, Kabupaten Batanghari meninggal tertimpa pohon saat mencari sumber air untuk memadamkan api di kawasan Tahura di Km. 13, Desa Senami. Belum genap sebulan berselang, Suparmi warga Rt.08 Desa Matagual, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari juga mengalami hal serupa. Ibu 40 tahun itu tertimpa pohon saat berusaha memadamkan api yang  membakar kebun karet miliknya.

Ahmad Tang, lelaki 55 tahun warga Desa Sei. Jambat, Kecamatan Sadu yang memiliki riwayat asma akut juga meninggal akibat buruknya kualitas udara saat karhutla terjadi. Bahkan empat hari sebelumnya, warga Suku Anak Dalam Pangkalan Ranjau, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi juga meninggal akibat asmanya kambuh karena tak tahan disekap kabut asap.

Langit di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi juga sempat merah pada September 2019 lalu. Ribuan hektar lahan gambut terbakar hingga api sulit dikendalikan. Berbulan-bulan Jambi diselimuti kabut asap tebal. Bahkan kualitas udara di Kota Jambi berhari-hari dalam kondisi berbahaya.

Puncaknya pada 16 Oktober 2019, pukul 08,00 WIB Data Air Quality Monitoring System (AQMS) Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi menunjukkan konsentrasi PM 2,5 mencapai 1.618 dalam kondisi berbahaya. Udara di Muaro Jambi, yang memiliki kawasan gambut terbesar di Jambi juga sama bahayanya.

Dinas Kesehatan Provinsi Jambi mencatat, 63 ribu lebih warga Jambi dilaporkan terserang ISPA akibat kabut asap. Kota Jambi menjadi wilayah dengan jumlah kasus ISPA tertinggi. Sejak Agustus hingga minggu kedua Oktober 2019 tercatat lebih 24 ribu kasus, 60 persen di antaranya anak-anak. Puluhan ibu hamil juga ikut menderita akibat kabut asap. 

Buruknya kualitas udara memaksa Pemerintah Kota Jambi untuk meliburkan semua siswa sekolah. Langkah ini juga dilakukan hampir semua pemerintah kabupaten di Jambi yang terdampak kabut asap. 

Hasil hitungan KKI Warsi, kebakaran 2019 lalu telah merugikan negara hingga Rp 12 triliun, angka yang jauh lebih besar jika dibandingkan pendapatan asli daerah Provinsi Jambi. Angka itu bisa berubah berkali lipat jika kerugian ekonomi, biaya kesehatan dan anak-anak yang tak bisa sekolah ikut dihitung.  

Tugas berat untuk Gubernur Jambi yang baru telah menanti. Karhutla adalah masalah penting dan mendesak untuk segera diselesaikan, agar tidak terus berulang. Masyarakat Jambi sudah cukup menderita akibat bencana asap yang selalu jadi agenda tahunan.

Upaya pemadaman yang dilakukan selama ini terbukti tidak efektif dan cenderung menghabiskan biaya besar. Pemerintah semestinya melakukan upaya pencegahan yang masif dibandingkan penanganan.

Selama ini pemerintah Jambi masih lemah dan tak berani bersikap tegas pada perusahaan pemegang izin yang terbukti lalai dari tanggungjawabnya. Tanpa disadari, sikap lemah itu telah mendorong kasus karhutla terus berulang.

Pemerintah semestinya tak perlu takut atau khawatir ekonomi akan jatuh. Pemerintah harus tegas pada perusahaan-perusahaan yang terbukti lalai. Bahkan bila perlu izinnya dicabut. Sikap tegas ini perlu dilakukan untuk menghindari kerugian negara dari dampak karhutla dan menyelamatkan masyarakat dari bencana.

Diketahui perusahaan perkebunan dan hutan tanaman indisutri telah menguasai lebih dari separuh wilayah gambut di Jambi. Mengacu pada data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, sekitar 70 persen dari total 751 ribu hektar lahan gambut di Jambi telah dibebani izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan HTI. 

Namun kehadiran perusahaan itu justru telah menghacurkan 122 jenis tanaman endemik gambut. Pembangunan tanggul perusahaan juga berdampak buruk pada lahan pertanian warga di sekitar konsesi yang kerap terendam banjir berkepanjangan. Di sisi lain, kanal-kanal yang dibuat untuk mengeringkan gambut membuatnya rentan dan rawan terbakar.

KKI Warsi mencatat, lebih 154 ribu hektar lahan terbakar pada 2019. Lebih dari separuhnya merupakan lahan gambut. 20 konsesi perusahaan terbukti mengalami kebakaran berulang, yang didominasi pemegang izin konsesi di lahan gambut.

Data Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi menunjukkan, pada 2020 ada 258 desa masuk dalam daftar rawan karhutla. Lebih dari 100 desa berada di daerah gambut yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Umumnya desa-desa itu berada di sekitar konsesi perusahaan. Semua  ini menunjukkan bahwa ada masalah serius yang harus segera diselesaikan. 

Pemimpin Jambi yang baru punya tugas berat untuk menyelamatkan Jambi dari bencana karhutla dan  kepungan asap. Pemerintah juga harus mulai berpikir untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lewat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan, tanpa perlu bergantung sepenuhnya pada investor.(*)


Berita Terkait



add images