JAMBIUPDATE.CO, JAKARTA - Ferdy Sambo sudah resmi tidak menjadi anggota Polri setelah surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut disampaikan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Jakarta, Jumat 30 September 2022.
Listyo Sigit menjelaskan, Polri beberapa waktu lalu sudah mengirim surat terkait penolakan banding Ferdy Sambo untuk memroses pemberhentian dengan tidak hormat.
"Tadi siang kami sudah mendapat informasi bahwa keputusan PTDH dari istana dan Setmil Pres tadi sudah dihubungi, sudah dikeluarkan. Oleh karena itu status FS sudah resmi saat ini sudah tidak menjadi anggota Polri," tutur Sigit.
Terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai proses PTDH Ferdy Sambo dinilai sangat cepat dibanding proses sidang etik 35 anggota Polri yang terlibat kasus Duren Tiga.
Bambang melihat sidang etik terhadap 35 anggota Polri terkesan lambat, terbukti tiga tersangka obstruction of justice belum juga dilaksanakan sidang etik-nya.
"Ini artinya juga warning (peringatan) bagi semua pihak bahwa Presiden tetap mengawasi proses penuntasan kasus ini," ujar Bambang.
Selain itu, Bambang juga melihat peluang Ferdy Sambo untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait putusan PTDH-nya tidak ada harapan, karena surat keputusan pemecatan ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
"Kalau yang meneken SK PTDH langsung presiden, memang tak ada celah lagi bagi gugatan Sambo di PTUN akan diterima. Terlepas dari itu, ini juga menunjukkan bahwa Presiden masih memberikan atensi terkait progres penuntasan kasus ini. Sehingga tidak memberikan kewenangan pada Kapolri untuk memecat seorang perwira tinggi, tapi melakukannya sendiri," kata Bambang.
Sementara itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyebutkan, Ferdy sambo mempunyai hak untuk mengajukan gugatan PTUN karena keputusan Presiden merupakan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang merupakan objek yang bisa diuji PTUN.
Setiap warga negara yang menjadi "korban" objek KTUN, kata dia, mempunyai hak (legal standing) untuk mengajukan gugatan ke PTUN mempersoalkan keabsahan KTUN terhadap dirinya.