Mengapa UU menentukan aturan seperti itu?
Mungkin karena program itu disebut sebagai jaminan hari tua. Yang belum tua tidak berhak.
Bisakah didebat?
Tentu tidak bisa lagi. Yang bisa justru diubah. Tapi harus lewat DPR. UU bukanlah kitab suci.
Sebenarnya zaman memang sudah berubah banyak —dibanding tahun kelahiran UU itu. Kini banyak tenaga kerja yang tidak ingin jadi buruh sampai umur 56 tahun. Mereka ingin bekerja selama 10 tahun saja. Lalu berencana bikin usaha kecil-kecilan. Pencairan dini dana jaminan hari tua itu mereka harapkan bisa untuk modal usaha.
Ketika umur 56 tahun mereka sudah lebih sejahtera —atau sudah bangkrut.
Sebagian lagi berpendapat: untuk apa menunggu uang di umur 56 tahun kalau sebelum itu sangat menderita.
Tapi di seluruh dunia ya memang seperti itu: jaminan hari tua baru bisa dicairkan pada waktunya.
Di negara maju uang dari dana pensiun, jaminan hari tua dan asuransi bisa jadi sumber kekuatan ekonomi negara. Uang seperti itu bisa membuat sistem perbankan kuat dan stabil.
Itulah dana murah yang berjangka panjang. Yang bisa membuat bank memberi kredit dengan bunga murah kepada pengusaha. Dunia usaha pun bisa lebih maju. Lapangan kerja terbuka. Uang jaminan hari tua dari buruh terus meningkat.
Berbeda dengan bank di negara berkembang. Yang sumber dananya lebih banyak dari tabungan dan deposito. Yang bunganya tinggi. Yang jangkanya pendek: 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan. Yang bisa ditarik sewaktu-waktu. Itu membuat bank tidak bisa tenang. Akibatnya: bunga kredit tinggi.
Saya tidak tahu apakah UU tahun 2004 itu juga dilatarbelakangi pemikiran seperti itu. Yang jelas UU tersebut tidak kunjung bisa dilaksanakan.
Banyaknya PHK setelah krisis ekonomi, membuat pelaksanaan UU ini harus lebih bijaksana.
Dan sekarang banyak PHK lagi: akibat Civid-19. Itulah yang banyak disesalkan: mengapa Permenaker 02/2022 ini dilahirkan di masa pandemi seperti ini.
Tanggal 22-2-2022 memang nomor cantik. Apalagi kalau pelaksanaannya dilakukan pada jam 22.22. Tapi tenaga kerja bukanlah angka-angka. (Dahlan Iskan)